Puncak Pra-Isra Mikraj
Prof Wahyu menjelaskan, sebelum peristiwa Isra Mikraj terjadi, umat Islam sudah mulai berkembang. “Sistem kepemimpinan Quraisy dengan sistem regulasi, budaya, keberhalaan yang sangat berkelindan itu merasa terancam,” ungkapnya.
Maka, ketika Muhammad SAW menyampaikan dakwah, persekusi, tekanan, dan kedzaliman terhadapnya dan pengikutnya semakin intens. “Boikot atas Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib membuat pengikut Nabi juga mengalami kesulitan dalam hidup,” tambah mantan Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Bandung itu.
Puncaknya, ketika sang paman Abu Thalib yang merupakan pelindung, pendukung, sekutu, dan penjamin wafat. “Wafat dalam kondisi belum Muslim menjadi pukulan besar terhadap efektivitas dakwah Nabi,” ujarnya.
Menurutnya, ini memberi pelajaran, Rasullullah dalam perjuangannya selalu mengambil nilai manfaat yang optimal dari keadaan. “Kalaupun Abu Thalib belum Muslim, tetapi nilai-nilai positifnya dalam dakwah tetap dimanfaatkan untuk kepentingan jalan dakwah,” terangnya.
Tahun Duka Cita
Kemudian, disusul dengan wafatnya sang istri Khadijah RA yang merupakan teman setia, pendukung perjuangan, pemberi nasihat, dan tempat mencurahkan isi hati. Prof Wahyu menekankan, “Ini juga pukulan yang sangat berat bagi pribadi Nabi, kehilangan support system perjuangan!”
Selain itu, inisiatif dakwah ke Thaif bisa dibilang gagal. Karena dakwahnya bukan mendapat sambutan positif, justru pengusiran dan cercaan para pemuda jahil. Mereka melempari batu sehingga Nabi terluka dan berdarah. Pemuda itu dihasut dan dimobilisasi oleh para tetua Thaif.
Dalam sejarah, rangkaian peristiwa itu dikenal dengan ‘Amul Khazn’ atau Tahun Duka Cita. Maka, Prof Wahyu memyimpulkan, “Peristiwa Isra Mikraj adalah rangkaian prosesi pelipur lara, sekaligus ajang penghargaan, konfirmasi kemuliaan dan keagungan Nabi.”
Meski telah dicerca, tapi Allah SWT tetap memandang Muhammad SAW sebagai pribadi yang agung dan mulia. Juga sekaligus penganugerahan pengalaman komik dan visi masa depan.
Maka, dia menegaskan, orang yang paling memahami Allah—sang pencipta langit dan bumi—adalah Rasulullah. Yaitu setelah mengalami perjalanan melintasi langit.
Dalam perjalanan itu pula Muhammad mendapat gambaran visi masa depan tentang keagungan Allah, termasuk tentang surga dan neraka. “Dan kesempatan bertemu dengan para pelaku sejarah yang agung (para Nabi terdahulu),” terangnya.
Selain itu, peristiwa Isra Mikraj merupakan undangan kehadirat Ilahi yang Mahasuci dan pemberian sumber kekuatan baru dan optimisme. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni