Jika Hidup tanpa Syukur
Coach Afif lalu menjelaskan, jika hidup tidak penuh dengan rasa syukur maka kita tidak bisa mensyukuri pekerjaan kita. “Kita tidak mensyukuri suami atau istri yang baik. Kita justru ingat yang negatifnya. Sebagian besar orang lebih mengingat hal-hal negatif dari pada hal-hal positif dari orang lain yang dekat dengan mereka,” kata dia.
Dengan kata lain, lanjutnya, ketika mereka mengatakan hal negatif dapat menyebabkan apa-apa yang mereka rasakan menjadi tidak enak di dada atau di hati.
“Nggak enak semuanya di rumah yang diingat negatif, sakit hati, dendam sehingga lama-kelamaan aliran darah kita tersumbat pikiran bawah sadar kita nggak terasa nyaman, lama-lama bisa jadi stroke ringan,” tuturnya.
Dia lalu bercerita pernah membantu kepala sekolah di salah satu sekolah negeri. Dia gagal jadi kepala sekolah. Ia tidak terima karena merasa dijatuhkan oleh teman-temannya sehingga ia sakit stroke.
“Alhamdulillah dikasih terapi syukur, tapi karena dia mau dan yakin bisa sembuh, ya alhamdulillah bisa terbantu. Maksdunya apa? Itulah bedanya hidup dan kehidupan,” ungkapnya dengan senyum.
Di samping itu, Coach Afif mengatakan banyak ayat al-Quran tentang syukur yang bisa menjadi bahan refleksi. Seperti dalam surat ar-rahman, terdapat ayat ‘fabiayyi alai rabbikuma tukaddziban’. Dia mengungkapkan melalui ayat tersebut, kita sudah disentuh kalau kita tidak boleh menyerah dalam kehidupan, dalam diri kita dan dalam pikiran kita harus ada satu mental penting.
Afif lalu memberikan kalimat posisitf agar bermental kuat. “Jangan pernah mengatakan, ‘Ya Allah masalahku besar’ Tapi katakanlah, “Wahai masalah, saya punya Allah Yang Maha Besar.”
Dengan mental tersebut menurutnya kita bisa menikmati kehidupan. Sehingga ada orangnya bisa dirasakan keberadaannya karena ada komunikasi antara orangtua dan anak itu penting.
“Terkadang kita menyuruh anak belajar tetapi kita malah menonton televisi. Atau terkadang kita menyuruh anak belajar tapi kita malah HP. Akhirnya rumah kita nggak menghipnotis,” ujarnya.
“Kan di rumah itu ada tiga sumber. Kalau tidak tinggal di rumah mertua, berarti ada anak, istri, dan suami, yang di situ kita mengingat kebaikannya bukan keburukannya. Karena kalau keburukannya jadilah sakit hati dendam, nggak rukun dan sebagainya,” tambahnya.
Afif berkisah, pernah mmeinta datang ke rumahnya pasangan yang mau cerai. “Saya suruh mengingat kebaikan pasangannya. Saya minta kepadanya untuk menghadirkan atau memperjelas gambarnya dalam pikiran. Perjelas suasananya ketika melakukan kebaikan. Lalu saya minta dia katakan terima kasih. Alhamdulillah dia fresh kembali dan tidak jadi bercerai,” kisahnya.
Dimensi Syukur
Afif Hidayatullah menuturkan dimensi psikologis yang tampak dalam perilaku syukur adalah menyangkut mental manusia dalam menggerakkan hatinya untuk berbagi kepada sesama setelah memperoleh kenikmatan dari Tuhan.
Dimensi psikologis yang juga terdapat dalam perilaku syukur adalah dimensi emosional. Dimensi psikologis ini terkait dengan ego atau yang melekat dalam diri manusia dan menjadi pemicu lahirnya ambisi yang berlebihan.
“Apakah Ayah-Bunda pernah melihat atau mendengar orang sakit stroke ringan atau asam lambung, asma karena pikiran dan hipertensi? Ada nggak orang sakit semacam itu tapi Anda sudah tahu orang itu memiliki kebiasaan kurang syukur,” katanya.
Dengan adanya webinar singkat tersebut, coach Afif ingin para peserta mau membantu karena tidak banyak orang yang bisa menguasai terapi yang untuk kesehatan apalagi ilmu hypnoterapi.
“Makanya jika ada orang seperti itu tolong dibantu. Kata dokter pasti sehat. Diperiksakan di manapun sehat tapi kok gini. Ternyata sakitnya karena dituduh pacaran temannya, sakitnya dulu waktu TK kan orangtuanya sudah cerai. Ibunya, maaf, ngajak laki-laki lain sehingga ia benci pada ibunya dan berpikir macam-macam. Maka untuk terapi penyembuhan saya akan kasih skrip terapi syukur,” terangnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni