Prof Malik Fadjar
Guru Soeroya tidak hanya mendalang, dia juga piawi membuat wayang kulit. Sedikitnya ada dua set (kotak) wayang kulit komplit. Yang satu kotak dihibahkan ke UMM untuk dilestarikan.
Sejak jaman Rektor Prof Malik Fadjar, UMM secara rutin menggelar wayang kulit secara rutin. Kebetulan pula Malik Fadjar juga penggemar wayang kulit. Di dinding rumahnya dihiasi wayang kulit. Di dalam keluarganya, Malik dijuluki tokoh wayang Bima atau Werkudara karena posturnya semasa muda tinggi besar gagah. Apalagi dia senang menggendong ibunya seperti Bima menggendong ibunya, Kunti.
Jadi sebenarnya dimensi kontroversial wayang kulit itu sudah ada sejak dulu kala. Tapi masyarakat Jawa sangat cerdas dan bijaksana dalam meredusir kontroversi atau konflik. Dilandasi tanggung jawab menjaga keselerasan, keseimbangan dan keserasian. Harmonisasi sosial. Kena ikannya tanpa memperkeruh airnya.
Tidak semua persoalan diselesaikan dengan pendekatan ilmiah. Kajian akal mulu. Adu argumen, berdebat sampai mata mendelik-delik dan mulut berbusa-busa. Menang-menangan. Adu viral. Tapi sangat mengutamakan dengan pendekatan batin. Olah rasa.
Masyarakat Jawa sangat mafhum betapa sangat pentingnya menjaga kejernihan mata batin. Sebab di akhir jaman, manusia akan cenderung hanya menggunakan mata eksternal, doktrin ilmiah. Tetapi akan mengabaikan mata batin.
Fenomena itu disebut oleh Ronggowarsito sebagai jaman Kalatidha atau jaman gelap. Bukan jagat ini gelap tidak ada listrik atau lampu penerangan tetapi jagat kecil manusia (hati) ini yang gelap.
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahanam dengan banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kebesaran Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (al-Araf 179).
“Dan barang siapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).” (al-Isra’ 72).
Astaghfirullah. Rabbi a’lam (Tuhan Maha Tahu). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni