Taabud
Bahkan, kata Prof Din, ada seorang sufi yang berkata, “Seandainya aku Muhammad yang berada sedekat-dekatnya dengan Allah SWT sang kekasih, maka aku tidak akan mau turun ke bumi.”
Tapi kenyataannya, Muhammad turun ke bumi malam itu juga. Din lantas mengambil pesan, Muhammad turun ke bumi untuk melanjutkan tugas-tugas peradaban umat Islam. “Setelah peribadatan dan persujudan yang panjang dan intensif, bahkan sampai naik ke Allah SWT, itu belum selesai!” tegasnya.
Din menjelaskan ini dengan kegiatan ibadah yang menghubungkan antara hamba dengan Allah. “Kalau kita sekadar melakukan ibadah, seperti melakukan shalat, kita terjebak rutinitas belaka. Jangan sampai hilang esensi ibadah (taabud) itu!”
Taabud yaitu ‘menaikkan’ hamba. Dia mengatakan, “Abid (hamba) akan naik sedekat-dekatnya dengan almakbud.”
Maka Prof Din menegaskan, “Shalat harus bisa menaikkan kita ke atas, berada sedekat-dekarnya dengan Allah. Itu yang harus kita cita-citakan!”
Takhalluq
Prof Din mengingatkan, ketika sudah berada sedekat-dekatnya dengan al-Khaliq, seorang hamba harus mampu menurunkan sifat-sifat kebaikan Allah SWT. “Ini namanya takhalluq, internalisasi kebaikan Allah. Kalau itu bisa kita lakukan, lahirlah akhlak dalam diri kita. Inilah esensi keberislaman,” jelasnya.
Dia menyimpulkan, Rasulullah SAW sengaja Allah panggil secara khusus dan Dia perjalankan bersamaNya. Hingga akhirnya sampai pada kapasitas keruhanian-kepribadian tinggi. “Siap untuk berhijrah dan melanjutkan perjuangan luar biasa kurang dari seperempat abad,” tambahnya.
Prof Din menyatakan sepakat dengan ungkapan ‘Shalat itu mikrajnya kaum beriman’. Dia pun mengajak untuk ‘menggelar sajadah panjang’, dalam arti bersujud kepada Allah SWT untuk berada sedekat-dekatnya dengan Allah dan menjadi pribadi berakhlak.
“Siap untuk berhijrah, berjihad, membangun peradaban utama menjadi umat yang terbaik. Itulah yang diharapkan dari Isra Mikraj!” tuturnya.
Yakini Isyarat Al-Quran
Sebelumnya, di hadapan para Orbiters—jamaah pengajian rutin dwipekan itu—Din Syamsuddin mengapresiasi dan mengucap terima kasih kepada nara sumber Dekan MIPA ITB Prof Ir Wahyu Srigutomo MSi PhD yang hadir Kamis (24/2/22) malam itu.
“Prof Wahyu telah mampu menjelaskan dari perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini semakin meyakinkan kita tentang isyarat al-Quran, ayat-ayat Qauliah,” ucapnya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2015 itu menegaskan, Isra Mikraj meliputi dimensi waktu, ruang, dan gerak. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, kini dimensi waktu menjadi sangat relatif.
“Dengan pesawat terbang, yang dulu tak terbayangkan (sekarang jadi hal yang mungkin). Makan pagi di Jakarta, makan malam di London,” imbuhnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni