Umat Islam Mayoritas tapi Ekonomi Didominasi Non-Muslim, laporan Emil Mukhar Efendi, kontributor PWMU.CO Sidoarjo
PWMU.CO – Umat Islam Indonesia saat ini adalah mayoritas, yakni 87.2 persen dari total penduduk Indonesia. Jika berbicara jumlah sebenarnya kita luar biasa besar. Tetapi jika berbicara kualitas, kita masih kalah jauh. Sedangkan untuk non-Muslim yang jumlahnya 12.8 persen bisa mendominasi ekonomi Indonesia.
“Bagaimana cara kita melihat ekonomi di Muhammadiyah, di mana kita harus pelajari dulu tentang apa kondisi umat saat ini.”
Hal itu diungkapkan Abdullah Smith, Wakil Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sepanjang, Sidoarjo, saat menjadi pemateri Workshop Pengembangan Cabang dan Ranting Berbasis Ekonomi di Era Disrupsi, Senin (18/2/2022) malam. Acara disiarkan langsung melalui Zoom dan channel YouTube LPCR PP Muhammadiyah.
Bang Smith, sapaannya, mengutip majalah Forbes’ 50 Richest List mengatakan, hanya terdapat delapan pengusaha Muslim dengan porsi kekayaan 12,1 persen. Artinya, dari 87.2 persen jumlah penduduk porsi pengusaha Muslimnya tidak besar. Hanya delapan orang dari 50.
Direktur PT Daya Matahari Utama (DMU) Surabaya ini juga mengatakan, ini adalah ini sebuah fenomena yang perlu dibahas secara bersama untuk kemudian dikembangkan dalam Cabang dan Ranting Muhammadiyah. “Tentunya, banyak hal yang perlu diseriusi oleh kita sebagai warga Persyarikatan,” ujarnya.
Ia juga mencontohkan, beberapa CEO dari beberapa perusahaan di Indonesia, seperti BCA, Sampoerna, Kalbe, Unilever, dan sebagainya. Itu semuanya non-Muslim. CEO-nya non-Muslim. Posisi kunci perusahaan-perusahaan besar tidak mampu dipegang oleh orang Muslim. Sementara di luar itu, banyak politisi atau pejabat publik yang beragama Islam tapi justru terlibat kasus korupsi.
“Dari itu semua, ternyata yang menjadi salah satu faktornya adalah rendahnya pendidikan kita. Dari data BPS tahun 2018 contohnya. Hanya 10,5 juta penduduk Indonesia yang memiliki pendidikan tinggi. Ini adalah data yang luar biasa, dan perlu kita kaji secara bersama bagaimana Muhammadiyah bisa mengambil peran dari data ini,” katanya.
Faktor lainnya, lanjut Bang Smith, adalah orang Indonesia masih minim dalam penguasaan teknologi. Menurutnya secara nyata hal itu terlihat pada saat pandemi Covid-19 masuk Indonesia. “Kita dipaksakan untuk melek teknologi, dan ini masuk ke dalam semua lini pekerjaan, termasuk pendidikan. Sekolah harus mampu menggunakan teknologi yang sebelumnya tidak banyak digunakan,” ujarnya.
Muslim Terjebak Budaya Instan
Bang Smith mengatakan, orang Muslim di Indonesia juga banyak terjebak dalam budaya instan, seperti ingin cepat kaya, tidak mau prosesnya, sehingga menimbulkan yang namanya korupsi.
Ingin cepat beres dalam segala urusan dan memunculkan yang namanya suap. Mahasiswa kita ingin nilainya bagus, terlepas di balik nilai itu ada cukup kemampuan atau tidak itu urusan nanti. Sehingga pilihan mereka apa, yakni mencontek pekerjaan teman.
“Begitu juga para pengendara kendaraan, ini bagian dari indikator kegagalan umat Muslim di Indonesia. Bapak-ibu bisa lihat, hampir semua masyarakat Indonesia adalah pelanggar lalu lintas. Bisa kita buktikan saat kita berada di lampu merah (traffic light). Siapa yang sering melintasi garis pembatas dan siapa yang tidak. Ini adalah budaya instan yang trjadi di masyarakat Indonesia,” urainya.
Baca sambungan di halaman 2: Potensi Cabang Ranting Muhammadiyah