Roadshow PWMU.CO seperti rihlahnya para kontributor untuk menuntut ilmu, seperti yang disampaikan Kamas Tontowi, kontributor asal Trenggalek.
PWMU.CO – Saya dan Yusuf Wiyono , kolega guru bahasa Inggris, berangkat dari Kecamatan Kampak Trenggalek pada pukul 06.30, Ahad (27/2/22).
Sepanjang perjalanan, saya masih teringat Pak Mulyana AZ, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, yang menanyakan perkembangan buku sejarah Muhammadiyah. “Sudah sampai mana?” tanyanya.
Sambil memegang kemudi mobil, saya melamunkan tentang menulis sastra, tiba-tiba membayangkan, bisakah saya seperti budayawan Muhammadiyah Kuntowijoyo atau Buya Hamka? Hehehe..
Sampai di Gandusari, saya teringat Wawang, kontributor PWMU.CO dari Watulimo. “Sampai mana Mas?”
“Di Tulungagung Pak,” jawabnya. “Baiklah, kita ketemu di Ponorogo, ya.” Kami tanyakan beberapa peserta yang lain, ternyata sebagian sedang ada acara di ortom.
Kami berhenti sejenak di Surya Mandiri, Tugu, untuk menjemput salah satu peserta yakni Ana Retno Mutia. Di sana, sekalian memasukkan beberapa makanan untuk sarapan dan oleh-oleh.
Selang beberapa waktu, kami bertiga berhenti untuk menjemput tiga cewek yakni Rizka Ayu, Berta Lia, dan Candra Dwi A di Dermosari. Sejenak kami berhenti di Dam Tugu untuk mengisi perut agar lebih fokus di acara Roadshow Milad Ke-6 PWMU.CO.
Kami tiba di Gedung Rektorat Lantai 4 Universitas Muhammadiyah Ponorogo (Umpo), tepat ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Seseorang mempersilahkan kami untuk duduk di barisan depan. “Iya, Mas. Nunggu teman teman dulu di belakang,” jawab saya.
Ternyata yang mempersilakan tadi adalah Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi (Pemred) PWMU.O. “Kontributor dari mana?” tanyanya. “Trenggalek, Mas,” jawab saya. Nurfatoni akhirnya sibuk menata kegiatan, kami berada di belakang. Kebetulan ada meja dan beberapa kursi yang belum ditata.
Seperti Sudah Kenal Lama
Pada sesi tanya jawab materi oleh Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) PWM Jatim Sugeng Purwanto, datang ke meja kami Pemred Nurfatoni dan disusul Darul Setiawan.
Keduanya menghampiri kami dan menanyakan perihal makanan khas Trenggalek yang dibawa Ana, yaitu nasi tiwul. Wajah rombongan Trenggalek berseri-seri, agak grogi diiringi dengan senyum senang dan Bahagia, ketika redaksi mereka menanyakan tentang nasi tiwul.
Nurfatoni banyak bertanya tentang nasi tiwul dengan tenang dan ramah, seperti sudah kenal lama. Terutama dengan Ana, yang memiliki ide membawa makanan tradisional tersebut.
Nasi tiwul yang menjadi nasi khas Trenggalek, dibuat dari ketela pohon (singkong) yang dibungkus dengan harga murah dan meriah. Nasi tiwul dapat dirasakan semua kalangan, baik atas maupun bawah. Harga tergantung cara membuatnya. Biasanya nasi tiwul sangat enak bila dimasak dengan ikan laut dan agak pedas.
Saat perjalanan pulang, kami mampir ke Toko Buku La Tansa Gontor, diteruskan minum kopi dan the, serta menikmati tempe dan tahu di Bendungan Tugu.
Langit semakin senja, kami segera kembali ke rumah masing-masing. Saya dan Yusuf, yang terakhir sampai di rumah menjelang Magrib.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya telah mampir menanyakan perihal si nasi tiwul dari daerah cilik kami, Trenggalek.
Saya sudah melupakan kegalauan hati tentang buku sejarah Muhammadiyah, juga tentang peliknya rutinitas sehari-hari. (*)
Co-Editor Darul Setiawan