Setelah memastikan muridnya selesai mengonsumsi makanan dan siswa bermain, guru ini baru masuk ke ruang guru untuk sekedar menyapa teman sperjuangan.
Usai bersilaturahim dengan teman-temannya dirasakan cukup, segera guru ini melihat jam. Ternyata, kurang 5 menit bel akan berbunyi. Dia pun bergegas menuju ruang kelas untuk kembali menyiapkan materi pelajaran berikutnya. Hal ini dia lakukan sampai jam pelajaran berakhir dan siswa pulang.
(Baca: Pentingnya Melibatkan Keluarga dalam Manajemen Waktu Dakwah)
Suatu hal yang tidak (lagi) terasa aneh saat pulang. Jika ada di antara siswa yang terlambat dijemput, maka dia pun mendatangi, menemani duduk dan mengajaknya ngobrol sampai orangtua siswa tersebut menjemput.
Usai siswa pulang, guru ini mengambil benda dan menyiapkan materi sebagai bahan pembelajaran hari esoknya. Setelah selesai, dia baru pulang ke rumah untuk berjumpa keluarganya. Saat bermain dan bercengkrama dengan anak atau kelurganya, telephon berdering. Dilihatnya. Ternyata yang menghubungi adalah orang tua siswa, menanyakan bagaimana perkembangan belajar anaknya. Guru ini tidak letih. Maka dijawabnya dengan rasa hormat apa yang ditanyakan.
Jelang tidur, guru ini mencoba mengingat satu-dua anak yang belum paham dengan materi yang disampaikan pagi-hingga sore hari itu. Bayangan anak ‘nakal’ terus menggelanyut di benaknya. Maka secara spontan bibirnya berucap “Ya Allah, jadikanlah muridku adalah murid yang shaleh-shalehah. Mudahkanlah mereka dalam menerima ilmu-Mu. Dan jadikanlah kelak mereka semua sebagai orang yang sukses di dunia dan akherat.” Pikiran-pikiran ini terkadang sampai terbawa hingga tidur.
Di saat yang lain masih menikmati masa istirahat, guru ini bangun jam 03.00 dini hari untuk bertahajud, mendoakan anak, dan murid-muridnya. Usai subuh, dia telah bersiap kembali untuk pergi ke sekolah, menjalankan tugas dan amanah sebagaimana hari-hari biasanya.
Satu pertanyaan. Apa yang membedakan antara guru ini dengan pekerja yang ngopi di Angkringan pada awal tulisan ini? Jawabnya: adalah kualitas waktu yang dimanfaatkannya. Jika manusia mempunyai waktu yang sama yakni 24 jam, namun guru ini dengan keluarbiasaannya mampu memanfaatkan dengan baik, dan menjadikan kualitasnya setara dengan 100 jam lebih.
Lalu, bagaimana dengan Anda? Setara berapa waktu 24 jam Anda? Setara 100, 50, 25, 8, 2, 1 ataukah justru dibiarkan lewat saja tanpa makna dan hasil apa-apa. Mari kita ingat, jika Muhammad al-Fatih mampu menaklukkan Konstantinopel dengan strategi melewatkan puluhan perahu besar melalui gunung dan perbukitan dalam waktu semalam, apa yang bisa kita taklukkan dalam waktu-waktu tersebut?
*) Munahar adalah Kepala Sekolah SDM 24 Ketintang dan Direktur LPTQMU (Lembaga Pengembangan Taman Pendidikan Al-Qur’an Muhammadiyah) yang berada di bawah naungan Majelis Tabligh PDM Kota Surabaya.