Intelektual, Pendidik, dan Karya
Lelaki santun ini mahasiswa angkatan pertama Sekolah Tinggi Islam (sekarang, Universitas Islam Indonesia). Gelar Sarjana Hukum diraihnya pada 1963. Sementara, gelar Doktor dalam Ilmu Hukum didapat pada 1968 di Universitas Islam Djakarta. Promotornya adalah Prof. Dr. Hazairin, Prof. Dr. HM Rasjidi, dan Prof. Dr. Sumedi.
Anwar Harjono mengajar di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1957-1980. Dia juga mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta, 1968-1980.
Karya tulisnya adalah “Hukum Islam, Keluasan dan Keadilannya”, isinya berasal dari disertasi dia. Ada lagi “Hukum, Kekuasaan, dan Keadilan dalam Cahaya Al-Qur’an”, “Dakwah dan Masalah Sosial-kemasyarakatan”, “Indonesia Kita; Pemikiran Berwawasan Iman-Islam”, “Perjalanan Politik Bangsa, Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan”.
Selain judul-judul di atas, dia juga menulis buku bersama Lukman Hakiem. Judulnya, “Di Sekitar Lahirnya Republik; Bakti Sekolah Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia kepada Bangsa”.
Berskala Dunia
Aktivitas Anwar Harjono juga berskala dunia. Misal, dia anggota Board of Director World Conference on Religion and Peace (WCRP), 1970-1983. Lembaga ini berpusat di New York – Amerika Serikat.
Pernah pula dia menjadi anggota Dewan Pimpinan Majelis Islam antarbangsa untuk Dakwah dan Bantuan Kemanusiaan (Al-Majelis Al-’Alaa li al Da’wah wa al-Ighatsah). Lembaga ini berpusat di Kairo.
Sebagian Risiko
Anwar Harjono dikenal teguh memegang prinsip. Dia siap menerima segala risiko perjuangan. Di antara risiko yang didapatnya adalah ketika dia turut menandatangani “Petisi 50” pada 1980.
Pada 5 Mei 1980, lima puluh tokoh nasional menandatangani surat protes yang kemudian dibacakan di depan anggota DPR-RI. Isi “Petisi 50” (demikian dokumen itu kemudian disebut orang) jelas, lugas, dan berani yaitu menggugat Presiden Soeharto lantaran telah menodai serta menyalahgunakan filosofi bangsa sekaligus dasar negara Pancasila (https://tirto.id/cLtN).
Di antara yang menandatangani “Petisi 50” termasuk tokoh-tokoh Partai Masyumi seperti M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, Boerhanoeddin Harahap, dan Anwar Harjono. Apa akibatnya?
“Petisi 50” membuat rezim Orde Baru marah luar biasa. Seluruh penandatangan “Petisi 50” lalu dibunuh hak-hak sipilnya. Mereka tidak boleh bepergian ke luar negeri, tidak boleh bekerja di lembaga-lembaga negara dan pemerintah, tidak boleh mendapat fasilitas kredit dari bank pemerintah atau swasta, bahkan tidak boleh berada di satu ruangan dengan Presiden dan Wakil Presiden.
Anwar Harjono bersama seluruh penandatangan “Petisi 50” merasakan pahitnya “buah” perjuangan. Hal itu, berlangsung lama.
Baca sambungan di halaman 3: Angin Perubahan