Rumah Singgah Ideologi oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO– Tulisan Prof Syafiq Mughni tentang Muhammadiyah rasa Salafi (Mufi) menarik disimak. Sebelumnya Prof Abdul Munir Mulkhan memilah beberapa frase ideologi atau manhaj warga Persyarikatan: Munu (Muhammadiyah-NU), Munas (Muhammadiyah Nasionalis), Marmud (Marhaenis Muhammadiyah), Muhi (Muhammadiyah Ideologis).
Frasa-frasa ideologi bukan bermaksud mencacah warga persyarikatan, tapi adalah realitas yang hidup dan tumbuh. Bahkan mungkin saja saling berkompetisi atau dalam bahasa kita ber-fastabiqul khairat dalam makna berlomba-lomba eksis dan menempati shaf depan.
Pada akhirnya ideologi masih tetap menjadi ukuran kualitatif yang relevan dan utama, meski Daniel Bell menampiknya dalam risetnya tentang matinya ideologi (The End of Ideology).
Betapa susahnya masuk kelompok yang menjadikan tarbiyah sebagai ideologi. Harus ada baiat atau prinsip al wala wal bara yang dijadikan model oleh beberapa manhaj puritan yang dianggap efektif untuk menjaga teritorinya secara massif. Meskipun tinggal beberapa waktu di Muhammadiyah tetap saja patuh pada ulamanya sendiri.
Diberlakukan baiat sumpah setia dan screening ideologi super ketat, kelompok inilah yang bisa disebut puritan ori, tanpa kompromi, ideologi dan manhaj harga mati. Bahkan ada penjenjangan yang jelas dan klarifikatif.
Tidak sembarang orang bisa pidato atau bicara di mimbar mereka tanpa rekomendasi. Jadi jangan pernah berharap ada ulama Muhammadiyah diundang ngaji di halaqah mereka. Camkan itu!
Gesekan Ideologi
Ini bisa hidup di manapun tanpa khawatir ideologinya luntur. Bahkan sangat mungkin bisa agitatif memengaruhi. Ulamanya juga sangat otoritatif tak bisa dibantah. Jadi meski mengusung jargon kembali kepada al-Quran dan as-Sunah tetap saja taqlid. Bahkan disertai anggapan hanya ulamanya yang paling baik dan benar. Model gerakan puritan memang demikian, ideologi yang utama sebelum beramal saleh.
Muhammadiyah justru sebaliknya, ibarat rumah singgah, pintu dan jendelanya terbuka lebar, siapapun boleh masuk tanpa ditanya namamu siapa dari mana, mau apa. Sebab itu tak heran jika banyak ulama-ulama tarbiyah dihadirkan, karyawan, atau pengabdi di amal usaha tanpa kartu anggota, setidaknya kartu anggota atau NBM bisa didapat setelah masuk dan bekerja, itupun dengan cara agak dipaksa.
Keterbukaan inilah yang menjadikan Muhammadiyah menjadi rumah singgah yang nyaman dan bagus bagi ideologi sempalan dan tarbiyah leluasa singgah sebentar untuk konsolidasi, menata diri kemudian pergi setelah kuat.
Model-model inilah yang sekarang lazim terjadi di jamaah akar rumput. Ironisnya warga Muhammadiyah sebagian tak paham, bahkan ada yang kemudian ikut dan larut mengikut ideologi yang singgah sebentar itu.
Kemiripan amalan dalam bertauhid dan ibadah menjadi faktor kunci: sama-sama mengusung jargon kembali kepada al-Quran dan as-Sunah, tidak pakai usholi, tidak baca sayidina, tidak baca qunut Subuh, tidak dzikir keras, tidak tahlilan, yasinan. Cukup menjadi garansi kesamaan meski secara ideologis sesungguhnya antara manhaj tarbiyah dan Muhammadiyah berbeda teramat jauh.
Kemiripan amaliyah ini juga sama antara NU dan Syiah: ahli sunah wa syiah seperti yang pernah disebut KH Abdurahman Wahid. Tradisi mengusap kepala anak yatim piatu, memakai celak, membuat bubur Suro, manakiban, dan mengarak tabut pada bulan Asyura di beberapa daerah di Indonesia, jelas itu semua berasal dari Syiah.
Jika kemudian ada yang memberi stigma bahwa Muhammadiyah itu Wahabi, teroris, radikal, intoleran, kemudian ada gesekan horisontal sedikit dengan tetangga sebelah, sebenarnya berawal dari titik ini, yang sesungguhnya bukan mukimin warga Muhammadiyah asli, tapi para tamu yang tidak diundang atau mukimin yang kepencut dengan ideologi tamu. Karena ada kemiripan ideologis baik amaliah kalam atau ubudiyah. Wallahu taala a’lm. (*)
Editor Sugeng Purwanto