PWMU.CO– Daftar penceramah radikal beredar lagi. Felix Siauw mengunggah foto tangkapan layar di akun Instagram pada 6 Maret 2022 lalu.
Namanya berada di urutan dua. Nomor satu ditempati rekannya M Ismail Yusanto (Bogor) sesama orang eks HTI. Ada juga nama Ustadz Abdul Somad (UAS) di urutan kelima.
Daftar penceramah radikal ini memicu beragam komentar di kolom akun Felix yang punya satu juta follower lebih ini. Ada 6.720 beragama komentar.
Felix Siauw berkomentar: ”Tahun 2017, saya jadi tokoh radikal No. 2 setelah HaeReS. Sekarang jadi No. 2 lagi.”
”Kapan ya aku bisa namber wan ya? Tapi alhamdulillah, tetap bisa bertahan di list sejak 2017.”
Dalam unggahan ini diberi judul Daftar Penceramah Terindikasi Intoleran dan Radikal. Hindari Mendengarkan Apalagi Mengundang.
Unggahan medsos yang mencap radikalis dan intoleran seperti ini kerap muncul. Bisa merugikan nama sejumlah orang yang tercantum di dalamnya. Menjadi informasi menyesatkan. Dampaknya menjadi sumber perpecahan bangsa dan sesama umat.
Hal ini sudah kerap terjadi. Di Malang, pernah muncul penolakan terang-terangan kegiatan penceramah di tempat ibadah.
Pada 29 Februari 2022 lalu, pihak yang mengatasnamakan Ketua Yayasan Masjid Manarul Islam menyatakan menolak mendatangkan Ustadz Alfian Tanjung, penceramah spesialis mengupas berakan PKI.
Sebelumnya pada 23 Januari 2022, juga terjadi penolakan terbuka atas kegiatan kajian yang menghadirkan Ustadz Babe Haikal Hassan. Ini dialami pengurus masjid di Tumpang Kabupaten Malang.
Panitia kajian dan takmir masjid setempat terpaksa membatalkan karena diancam dibubarkan jika tetap menggelar kajian Subuh bersama Babe Haikkal. Alasannya, materi ceramah tokoh ini dianggap menebarkan kebencian pada pemerintah.
Empat Kelompok
Asisten Rektor UMM Pradana Boy ZTF MA PhD menilai munculnya gejala radikal ini dengan konsep darul ahdi wa syahadah yang dipakai Muhammadiyah. Menurut dia, cara berbangsa dan bernegara di Indonesia selama ini memang terpolar dalam aliran pemahaman berbeda.
Setidaknya ada empat kelompok aliran yang memengaruhi pemahaman masyarakat. Kelompok integralistik yang berpandangan agama dan negara menyatu. Kelompok lainnya adalah sekularisme, memisahkan sama sekali urusan negara dengan keagamaan.
Ada juga kelompok simbiotik, bagaimana agama dan negara bisa saling melengkapi dan membangun. Sebaliknya, ada juga kelompok dengan pemahaman agama yang lebih ekstrem.
Masih ada kelompok-kelompok kecil yang bermunculan. Tetapi kelompok ini suka mempertentangkan kebijakan negara dan cenderung anti-pemerintah.
Padahal, lanjut Boy, kelompok-kelompok ini tidak jelas juntrungannya, dan belum nyata kontribusinya bagi negara. Berbeda dengan Muhammadiyah, misalnya, yang berkontribusi besar di era berdirinya NKRI hingga pasca kemerdekaan saat ini.
Apalagi Muhammadiyah lahir jauh sebelum dibentuknya NKRI. Wawasan kebangsaan Muhammadiyah jelas.
Kalau ada di dalam Muhammadiyah yang berpandangan meragukan Pancasila dan anti pemerintah, maka yang ekstrem-ekstrem begitu, tidak belajar dari Muhammadiyah.
Penulis Choirul Amin Editor Sugeng Purwanto