PWMU.CO– Banyak yang radikal kenapa hanya penceramah jadi sasaran. Begitu dilontarkan Wakil Ketua MUI Buya Anwar Abbas dalam forum Dialog Interaktif di stasiun TV swasta, Rabu (9/10/2022) malam.
Dia menyayangkan pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait sejumlah nama penceramah yang masuk kategori radikal.
Menurutnya, pada konteks radikalisme bisa menyasar siapa saja bukan hanya penceramah. Bisa profesi lain. Banyak yang radikal. Namun faktanya tuduhan itu hanya diarahkan kepada komunitas tertentu.
“Itulah yang saya heran, kenapa hanya penceramah yang menjadi tertuduh. Bukankah radikalisme korupsi, menjarah kekayaan alam juga lebih radikal dan mengancam keutuhan NKRI,” kata Buya Anwar Abbas.
Tokoh asal Sumatra Barat ini juga mempertanyakan kriteria yang digunakan sebagai standar radikalisme.
”Sekarang yang jadi pertanyaan adalah kalau ada orang-orang tertentu, di luar penceramah, yang mengajarkan anti Pancasila, radikal tidak? Menurut saya dia radikal,” tegas Buya Anwar Abbas.
Senada dengan itu, Sekretaris Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya Dr Sholilhul Huda MFil mengatakan, beredarnya sejumlah nama penceramah radikal merupakan penilaian ambivalen, serampangan, dan tidak menyeluruh.
“Saya kira ini tidak komprehensiflah, dan cenderung tendensius, mestinya tidak begitu kan,” katanya.
Menurut dia, mestinya BNPT melakukan riset lebih detail tidak hanya menyasar komunitas tertentu, tetapi lebih luas sasarannya. “Faktanya kan ada riset yang menyebut radikalisme bisa terjadi pada oknum ASN, TNI, Polri,” ujarnya.
Kriteria BNPT
Sebelumnya Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakid merilis lima ciri penceramah radikal yang menuai kontroversial di publik.
Lima ciri menurut BNPT itu adalah pertama, mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional.
Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.
Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintah maupun negara melalui propaganda, fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.
Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas).
Kelima, biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifaan lokal keagamaan. (*)
Penulis M. Roissudin Editor Sugeng Purwanto