PWMU.CO – Muhammadiyah harus pamer yang dikerjakan agar masuk algoritma google dan semakin mudah menyebarkan paham Islam rahmatan lil aalamiin.
Hal itu disampaikan Wahyudi Akmaliah MHum, Peneliti dari LIPI dan Badan Riset Nasional dalam agenda Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah 2022 dengan tema Media, Masyarakat Digital dan Dakwah Muhammadiyah yang digelar secara hybrid di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Kamis (10/3/2022).
Alumnus Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta ini mengatakan, sudah seharusnya Muhammadiyah itu pamer apa yang dikerjakan, akan tetapi sayangnya itu tidak dilakukan.
“Kita harus mendefinisikan ulang apa itu kerja, riya, pamer, dan advokasi Muhammadiyah itu sendiri. Kita tidak perlu enggan atau merasa gak enak. Warga persyarikatan juga harus menyebarkan konten-konten itu agar kita masuk algoritma google dan bagian dari promosi Islam rahmatan lil alamiin,” kata Wahyudi.
Dia mengatakan, Muhammadiyah itu padahal sudah memiliki hampir semua platform media sosial, sehingga ini menandakan kalau Muhammadiyah itu tidak tertinggal.
“Muhammadiyah itu cukup terintegrasi, secara ekonomi kita oke, kita cukup punya orang pintar, amal usaha Muhammadiyah (AUM) juga banyak, kita juga sudah punya media sosial, meskipun kalau dilihat rangkingnya tidak tinggi-tinggi amat, tapi ada,” tuturnya.
Kandidat doktor National University of Singapore (NUS) ini menuturkan, saat ini kita dihadapkan pada masyarakat jaringan (network society) yang dalam konteks Indonesia berdampak pada berbagai hal sehingga Muhammadiyah harus beradaptasi dengan hal ini.
“Saat ini kita sedang mengalami algoritmik otoritas keagamaan. Sehingga kelompok-kelompok kecil, yang padahal timnya itu juga kecil, tapi kenapa gaungnya cukup besar? Karena dia menguasai dunia algoritma,” ujarnya.
Ketika kelompok kecil itu menguasai dunia algoritma, maka di saat masyarakat muslim Indonesia mencari (informasi), masyarakat akan menemukan algoritma mereka.
“Pertanyaannya kenapa kita tidak bisa menemukan figur Muhammadiyah dalam media sosial maupun dalam pencarian google?,” tanyanya.
Dia memberi contoh Felix Siauw. Padahal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah dibubarkan tapi kenapa Felix Siauw masih tetap eksis, masih populer?
“Itu karena ekonominya tidak harus terhubung dengan intervensi pemerintah. Dan selama algoritma mereka masuk dalam kelompok-kelompok besar masyarakat muslim Indonesia, selama itu pula mereka jualan produk tetap akan laris,” terangnya. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni