Masuk Muhammadiyah
Pada 1969 Roem hampir kembali ke kancah politik setelah sempat terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), sebuah partai “jelmaan” Masyumi karena didirikan para kader Masyumi. Tapi, tekanan rezim Soeharto menyebabkan posisi ketua harus diserahkan kepada orang lain.
Selanjutnya, ada fragmen unik, terkait momentum kapan Roem menjadi anggota Muhammdiyah. Kisah berikut bersumber dari tulisan Muhammad Roem sendiri yang dimuat Suara Muhammadiyah Nomor 1 ,Januari 1981. Judulnya, “Mengikuti Jejak Kyai Ahmad Dahlan”. Lalu, dimuat kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan Arif. Berikut ini petikannya.
Di Muktamar Partai Muslimin Indonesia di Malang pada 1968, Roem terpilih dengan suara bulat sebagai ketua umum. Sayang, pemerintah berkeberatan atas keterpilihan tokoh Masyumi itu.
Bakda acara muktamar di Malang, dalam perjalanan menuju Jakarta, Roem sempatkan bersilaturahmi ke beberapa sahabat dekatnya. Dalam ingatan Roem, ada sekitar enam tahun mereka tidak bertemu.
Di Yogyakarta, Roem bersilaturahmi ke Haji Hasyim. Bagi Roem, sahabatnya itu istimewa. Dia-lah salah seorang yang awal memberi pelajaran Islam kepada Roem. Dia juga salah seorang pengurus pertama JIB.
Di antara percakapan mereka ada tema yang menarik. Bahwa, Roem tak bisa dipilih sebagai Ketua Umum Partai Muslimin Indonrsia tak semata-mata karena tak direstui pemerintah. Ada sebab selain itu, yaitu Roem tidak boleh dipilih karena dia bukan anggota dari salah satu ormas yang menyusun partai itu.
Partai Muslimin Indonesia itu federatif. Maka, yang berhak dipilih sebagai pimpinan adalah anggota dari salah satu ormas. Sementara, Roem hanya anggota Masyumi saja. Tentu, dia tidak boleh dipilih.
Dalam perbincangan dua sahabat itu, terjadilah pertukaran isi hati. Dialog itu, kurang-lebih sebagai berikut.
“Saudara Roem, jadilah anggota Muhammadiyah. Tidak akan ada anggota Muhammadiyah yang berkeberatan. Begitu pula, tidak sesuatu pun di Muhammadiyah yang Anda beratkan,” kata Haji Hasyim.
Mendengar hal itu, awalnya, Roem tidak dapat mengeluarkan suatu perkataan pun. Bagi dia, memang tidak ada sesuatu dari Muhammadiyah yang tak disetujuinya. Kalaupun ada perbedaan, hal itu hanya mengenai khilafiah saja.
Roem sempat terdiam. Dia merasa bahwa sebelumnya memang tak pernah terpikir untuk masuk menjadi anggota Muhammadiyah.
“Apa tidak terlambat? Saya sudah berumur 60 tahun. Mestinya kalau menjadi anggota Muhammadiyah sudah dari dulu-dulu,” kata Roem.
“Lebih baik terlambat dari pada tidak,” tukas Haji Hasyim.
“Andaikata saya masuk menjadi anggota Muhammadiyah, tidak ada orang yang akan menyoal. Sejak Masyumi didirikan pada 7 November 1945 sampai dibubarkan pada 17 Agustus 1960, sebagai sesama Pimpinan Pusat Masyumi saya bekerjasama akrab dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Kiai Faqih Usman, Saudara Yunan Nasution, Saudara Zainal Abidin Ahmad, dan Saudara Hasan Basri,” timpal Roem.
Muhammad Roem meninggal di Jakarta pada 24/09/1983. Jika melihat sejarah hidupnya, tampak Roem tak pernah berhenti terlibat dalam dinamika dakwah memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Roem adalah nama harum di negeri ini. Siapapun yang belajar sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia pasti pernah menyebut namanya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni