Beda Hadits
Din Syamsuddin menekankan penggunaan dasar hadits yang berbeda. Hadits di atas—bersanad Abu Hurairah dan Ibnu Abbas—mendapat kritikan ulama. Kritiknya, Abu Hurairah ketika pensyariatan puasa belum masuk Islam.
“Beliau masuk Islam 9 Hijriah, sedangkan pensyariatan puasa pada tanggal 2 Hijriah. Begitupula dengan Ibnu Abbas. Ketika pensyariatan puasa masih seorang bayi,” ungkap Prof Din.
Maka hadits yang Muhammadiyah gunakan hanya sama bagian awalnya, tapi beda bagian akhirnya. “Berpuasalah dengan rukyah dan berbukalah nanti bulan Syawal dengan rukyah. Jika tidak terlihat, maka perhitungkanlah, perkirakan ini.” Hadits Ibnu Umar inilah yang dipakai ahli hisab.
Ketika Prof Din bertemu Dr Yusuf al-Qardhawi—ulama terkemuka di dunia Islam—-saat itu almarhum Prof Yunahar Ilyas bertanya, “Menurut Syaikh, mana yang lebih kuat antara hisab dan rukyah?”
Yusuf al-Qardhawi menjawab hisab. Rukyat itu dzonni. Beliau mengumpamakan, “Lihatlah gunung nun jauh di sana, apa warnanya terlihat dari jauh? Biru. Tapi kalau didekati bukan biru, tapi hijau,” terangnya.
Prof Din menegaskan, dengan rukyat bil aqli yang sekarang ini, sangat mudah diketahui seratus tahun lagi kapan awal Ramadhan. “Jangankan seratus, seribu tahun lagi (bisa). Karena perhitungan sangat eksak. Seperti halnya kita bisa mengetahui waktu shalat Maghrib. Sangat akurat. Bahkan sampai menit-detiknya bisa kita ketahui,” jelasnya.
Dia menambahkan, “Kapan berbuka puasa? Tidak perlu keluar rumah. Lihat saja jam. Ada menitnya, ada detiknya.”
Tak Perlu Dipertentangkan
Di akhir sambutannya, Prof Din mengingatkan, “Saudara-saudara, hal seperti ini tidak perlu dipertentangkan. Silakan menurut pemahaman dan keyakinan masing-masing!”
Namun, sambungnya, tidak akan bisa dipertemukan kalau dasar pendekatannya tidak bisa disepakati. “Sama-sama rukyat. Yang satu bil aini. Yang satu bil aqli,” ujarnya.
Dia menerangkan, “Seandainya tahun ini diduga terjadi kontroversi awal Ramadhan, kalau pada 1 April nanti pihak yang menggunakan rukyat bil aini dengan alat yang ditebar di berbagai daerah, apalagi pas musim hujan tidak bisa melihat hilal, maka seperti yang dianut pemerintah, malam itu kita belum memasuki bulan suci Ramadhan.”
Tapi bagi yang sudah meyakini perhitungan ilmiah, maka dia menegaskan, berarti memasuki bulan suci Ramadhan Jumat malam, 1 April, dengan menunaikan shalat tarawih dan mulai berpuasa pada tanggal 2 April.
Yang paling penting, lanjutnya, marilah kita memaknai bulan suci Ramadhan. “Tidak sekadar kita isi sebagai tamu yang datang secara rutin setiap tahun, namun kita maknai peribadatan yang berdampak pada perkembangan fitrah kemanusiaan,” ajaknya.
Pesan ini Prof Din sampaikan dalam Pengajian Virtual Orbit binaannya yang menghadirkan Ustadz H Arifin Jayadiningrat Lc MA, Kamis (10/3/22) malam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni