Politik Kekuasaan Akan Jatuh pada Oligarki jika Muhammadiyah Tak Ikut Mengendalikan, laporan Mohamad Su’ud, kontributor PWMU.CO Lamongan
PWMU.CO – Ada tafsir menarik yang diuraikan oleh Prof Dr Zainuddin Maliki MSi ketika memaknai ayat Allah yang tercantum dalam al-Quran surat Fathir 19-21.
Hal itu merespon salah satu topik dalam buku 99 Mutiara Hati, karya Masro’in Assafani yang diterbitkan oleh Kanzun Books Sidoarjo dan dibedah oleh Zainuddin Maliki.
Acara Bedah Buku dan Pembekalan Ramadhan 1443 digelar oleh Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan (PDM), di Aula KH Abdurrahman Syamsuri, Ponpes Karangasem Muhammadiyah Paciran, Lamongan, Sabtu (12/3/2022).
Di halaman 190 cetakan kedua buku tersebut, membahas tentang di antara dua pilihan. Ayat tersebut arti selengkapnya surat Fathir 19-21 sebagai berikut: “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat (19) dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya (20) dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas (21).”
“Saya akan membedah ayat dari sisi politik,” kata pria kelahiran Tulungagung, yang lahir 7 Juli 1954, ini.
Menurutnya, ada tiga golongan yang digambarkan dalam ayat tersebut. Yaitu golongan orang buta, orang dalam kegelapan, dan musafir.
Zainuddin menguraikan orang buta memiliki kelemahan dalam dirinya. Dia menyadari kelemahannya, tapi tidak bisa berbuat banyak. Sedangkan manusia yang dalam kegelapan bisa jadi disebabkan oleh lingkungan, dipengaruhi teman, sosial. Dan ia tidak menyadarinya.
Adapun musafir adalah orang yang mengetahui di mana tempat berteduh terbaik. memilih yang panas atau sebaliknya. Bebas memilih, tergantung situasi dan kondisi yang ada.
“Manusia yang tidak memiliki kesadaran politik akan tenggelam dalam arus oligarki, dibuktikan dengan memilih karena iming-iming uang. Mereka tidak sadar sedang menyerahkan kekuasaan pada penguasa oligarki,” tegas pria yang pernah diangkat Presiden sebagai Unsur Pengarah Masyarakat Profesional pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2010-2014.
Doktor Program Studi Ilmu Sosial Program Pascasarjana Universitas Airlangga ini mengatakan orang yang memilih dengan niat jitus (siji satus, uang seratus ribu) atau siket (siji seket, uang lima puluh ribu), maka dia termasuk buta. Tidak tahu kalau ia sesungguhnya sedang menyerahkan kekuasaan di negeri ini kepada pemilik uang.
“Maka, pada tahun 2024 besok harus kita kurangi tradisi semacam ini. Harus kita buktikan bahwa kita bisa tanpa jitus dan siket. Muhammadiyah Lamongan Gresik sudah memberi contoh dan dilihat oleh Muhammadiyah se-Indonesia,” ujarnya.
Baca sambungan di halaman 2: Daya Ungkit Politik Muhammadiyah