Daya Ungkit Politik Muhammadiyah
Dia melanjutkan, “Kalau Muhammadiyah bersyarikat di politik akan punya DPR. Tapi kalau mau hanya berkerumun tidak akan mendapatkan DPR,” tandas Ketua Dewan Pendidikan Propinsi Jawa Timur 2008-2011 dan 2011-2014, ini.
Dengan nada geram Zainuddin mengatakan, “Suarakan yang waras agar terpilih yang waras. Jangan memilih yang stres yaitu maju tak gentar nyoblos yang bayar.”
“Kami merasakan sebagai minoritas di politik, Fraksi PAN suaranya 44 orang anggota DPR dari 575 anggota dewan, merasakan minoritas, ditekan oleh kekuatan yang luar biasa besarnya,” ujarnya.
“Saya ingin mengajak Saudara sekalian dari buku 99 Mutiara Hati ini, ayo kita jadikan dan melahirkan politisi yang hatinya jernih, politisi yang waras sehingga mengambil kebijakan-kebijakan yang waras,” imbuhnya.
Di tiga puluh menit terakhir paparannya, Zainuddin mengkritisi orang-orang yang mendirikan partai politik seperti membeli pisau Rp 10 ribu dapat dua: rusak dibuang lalu beli lagi.
“Inilah tantangan besar, kalau Muhammadiyah tidak mengendalikan politik kekuasaan maka kekuasaan politik akan dikendalikan oleh oligarki,” terangnya.
Dia menegaskan, Muhammadiyah memang bukan kekuatan politik, tapi Muhammadiyah bisa melakukan edukasi dakwah, karena Muhammadiyah memiliki politik daya ungkit. “Kalau daya ungkit tidak digunakan, tidak akan dapat mengubah apa-apa,” urai Guru Besar FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, ini.
Maka, menurut Zainuddin, dari potensi yang sangat besar yang dimiliki oleh Muhammadiyah bisa digunakan secara cerdas untuk mengendalikan politik kekuasaan sehingga tidak akan terjadi lagi politik kekuasaan di bawah bayang-bayang kekuatan pemilik modal.
Menurut Zainuddin para oligarki itulah yang merasa risih mendengar suara adzan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni