Minoritas tapi Mentes
Prof Mu’ti kemudian menceritakan perjalanannya ketika aktif berproses menjadi kader IMM di IAIN Walisongo, Semarang, Jawa tengah. Waktu itu IMM menjadi kminoritas di Kampus IAIN Walisongo. Meski begitu, IMM di IAIN Walisongo bisa menjadi kelompok minoritas yang kreatif.
“Waktu itu, kita memang memang minoritas. Tapi kalau urusan ada beasiswa, misalnya, anak IMM selalu dapat. Kita di sana memang minoritas tapi printer-pinter. Mentes-mentes(unggul) kadernya. Sehingga IMM tidak mudah dipites (dikalahkan). Kita membangun kemandirian IMM di sana dengan militansi dan kualitas. Itu kelebihan kami selama menjadi IMM,” ceritanya.
Prof Mu’ti mengungkapkan, kariernya saat ini, baik di Muhammadiyah maupun dalam dunia ademik, tidak bisa dilepaskan dari kontribusi dan peran serta dari proses perkaderan di IMM. Pun demikian secara kekaderan di Muhammadiyah, terutama penguatan secara ideologi dan militansinya, diakuinya terbentuk ketika dirinya aktif dikaderisasi IMM.
“Sembagai mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah (PP PM), saya itu tidak pernah ikut pengaderan di Pemuda Muhammadiyah. Maka bisa dikata, Pemuda Muhammadiyah yang memanen hasil saya di IMM. Karena saya sudah dikader di IMM,” jelasnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menegaskan, adapun kekuatan terbesar dari IMM adalah di ranah intelektual. “Keunggulan itu yang membuat kita bisa ber-fastabikhul khairat dengan organisasi lain. Juga dengan kader kemahasiswaan intra maupun ekstra kampus,” ujarnya.
Prof Mu’ti meminta supaya kader IMM bangga dengan sebutan Immawan (laki-laki) maupun Immawati (kader perempuan). “Jangan memangil kawan-kawan, atau teman-teman ke sesama kader. Panggilan itu tidak menunjukkan adanya semangat perjuangan dan identitas organisasi,” tuturnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni