Perbedaan Muhammadiyah, NU, dan Katolik, laporan kontributor PWMU.CO Aan Hariyanto.
PWMU.CO – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti mengungkapkan perbedaan utama antara warga Nadlatul Ulama (NU) dengan warga Muhammadiyah hanya sebatas dilihat dari profesinya saja.
“Kalau ada perbedaan antara Muhammadiyah dengan NU itu dapat dilihat dari profesinya,” ujarnya dalam Sekolah Kepemimpinan Politik dan Kebangsaan (Sekpolbang) angkatan pertama.
Kegiatan itu diadakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur di Kapal Garden Hotel, Sengkaling, Kabupaten Malang, Jumat (18/3/2022).
Prof Mu’ti menuturkan, dulu, saudara kita dari NU, dikenal atau identik dengan masyarakat santri yang petani, yang mana mereka itu identik dengan tradisi keislaman dangan penguasaan teks klasik. Sementara, kalau Muhammadiyah itu biasanya identik dengan guru.
“Nah, di ranting saya itu Muhammadiyah dikenal organisasinya guru-guru. Atau organisasinya para pegawai negeri sipil (PNS). Tapi, seiring waktu, saudara kita di NU mulai banyak menjadi PNS. Juga semakin banyak masuk dibirokrasi. Mereka juga mulai sekolah di sekolah umum,” jelasnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menambahkan, dulu, kader NU juga kebanyakan kuliah di IAIN. Sementara, banyak orang Muhammadiyah yang kuliah umum (negeri). Maka dari itu, banyak posisi birokrasi yang isinya orang-orang Muhammadiyah.
Tapi, lanjut dia, seiring berjalannya waktu, temen NU, karena ekonomi masyarakat desa itu meningkat, maka mereka semakin banyak kuliah jurusan umum. “Nah, Muhaimin Iskandar misalnya, itu mahasiswanya almarhum Yahya Muhaimin dan juga Amien Rais. Tapi bisa memimpin partai besar. Juga bisa jadi Wakil Ketua MPR,” tuturnya.
Mengapa Kemenag Didominasi NU
Maka, tidak heran kemudian pegawai Kementerian Agama (Kemenangan) mayoritas diisi oleh temen NU karena suplai pegawai Kemenag kebanyakan dari mahasiswa IAIN. Pun demikian dengan banyak dosen IAIN pun yang berasal dari NU. Itu karena dosen IAIN biasanya banyak diangkat dari mahasiswa dengan IP tinggi.
“Karena supelai teman-temen NU paling banyak di IAIN, maka wajah IAIN pun berubah. Sementara, warga Muhammadiyah banyak yang tidak kuliah ke IAIN, karena kuliah di kampus sendiri,” ungkapnya.
Namun, Mu’ti menegaskan, perubahan struktur sosial itu bisa saja terjadi, dan itu bisa dirancang. “Kalau mau merubah keadaan, kita bisa guru profesional, bisnisman, sosial . Pergeseran pola yang terkait stratifikasi sosial mobility,” uraian.
Ia mencontohkan, banyak temen-temen Katolik misalnya, kalau berdakwah memakai peta. Sehingga mereka mengetahui komposisi penduduk itu seperti apa. Berapa yang berusia sekian dan sekian, profesi dan kerjanya serta tinggalnya dimana.
“Mereka berdakwah itu pakai peta. Mereka jadikan database misionaris. Malaksanakan misi berbasis data,” ungkapnya.
Sebaliknya, menurut dia, warga Muhammadiyah berdakwah memakai peta buta. “Kita ini gak tahu siapa saja yang datang ke masjid. Kalau di gereja, siapa saja yang datang dan tidak datang diketahui. Detail. Itu sebenarnya adalah bagian dari strategi dakwah. Nah sekarang politik adalah bagian dari dakwah itu sendiri,” ujarnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni