Duta Besar Indonesia oleh Andar Nubowo, mahasiswa doktoral Jurusan Filsafat dan Epistemologi Ecole Normale Superieure (ENS) de Lyon Prancis. Mantan Ketua Lazismu Pusat.
PWMU.CO– Tiga tahun penuh (2009-2012) saya pernah bekerja di KBRI Paris. Sebagai staf politik. Kemudian staf bidang penerangan, sosial, dan budaya.
Di desk politik, tugas saya menganalisis dan menuliskannya untuk Pak Dubes. Selain itu mengantar dan menemani kunjungan delegasi politik dari Indonesia di Prancis.
Dari sana, saya mulai mengenal seluk beluk politik dan politisi tanah air. Di desk penerangan, sosial, dan budaya, saya bekerja mempromosikan wisata dan budaya Indonesia di Paris.
Hampir setiap bulan, saya dan tim KBRI keliling Prancis untuk main gamelan dan tarian Bali. Saya salah satu penabuh gamelan Pulau Dewata yang rancak dan energik itu.
Pak Dubes dan Pak DCM (Wakil Dubes) beberapa kali menyarankan saya untuk tes ke Jakarta, menjadi diplomat. Mereka sama beralasan, ”Mas Andar, Kemenlu sedang mempromosikan Islam moderat di forum internasional. Kemenlu perlu diplomat yang memahami Islam moderat dan mampu mengampanyekannya.”
Saat itu, sejak 2004, Presiden Megawati dan SBY memang gencar kampanye Islam moderat di kancah global melalui Direktorat Diplomasi Publik (Diplik) Kemenlu RI.
Sebelumnya, mantan Direktur Diplik juga menyarankan saya untuk bergabung dengan Forum Demokrasi di Bali, forum tahunan yang dihelat SBY.
Tawaran-tawaran dan dukungan-dukungan itu sungguh menarik tentu saja. Saya timbang-timbang sebelum akhirnya saya putuskan untuk tidak mengambilnya. Saya merasa tidak terlalu cocok untuk menjadi diplomat.
Saat itu, ketertarikan saya bekerja di KBRI adalah untuk mengenal, memahami, dan mengalami secara langsung dunia diplomasi dan birokrasi seperti apa.
Kemampuan Diplomasi
Pengalaman tiga tahun di KBRI Paris inilah yang sedikit banyak mengubah cara pandang saya pada struktur budaya politik dan birokrasi di Indonesia, terutama dalam konteks diplomasi bilateral dan multilateral Indonesia di luar negeri.
Wawasan dan pengalaman inilah yang saya bagi dengan mahasiswa-mahasiswi saya saat menjadi pengajar di Prodi Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta (2012-1016).
Dunia diplomasi sangat menarik dan penting. Karena itu diperlukan para diplomat andal yang memahami banyak hal, visioner, dan mempunyai keberanian mempromosikan dan memenangkan mind dan heart publik internasional.
Seorang diplomat adalah mereka yang kognisinya terasah dengan wawasan melimpah dan perilakunya mencerminkan kepercayaan diri yang ungkul, kosmopolitan, dan berani.
Lebih dari para diplomatnya, Dubes-Dubes yang dikirim tentu saja mereka yang memiliki wawasan dan spirit kosmopolitan, mengatasi para diplomatnya.
Dalam percaturan global yang semakin kompleks, ditambah kebijakan dan politik luar negeri Indonesia yang juga semakin maju dan multi aspek, duta besar adalah wakil presiden di luar negeri yang dituntut dapat mengeksekusi kebijakan pemerintah di luar negeri.
Salah satunya, adalah kemampuan untuk mengampanyekan Islam Indonesia yang ramah dan murah senyum itu. Karakter smiling Islam ini adalah modal besar Indonesia untuk lebih diterima masyarakat global pasca tragedi kemanusiaan 11 September 2001 yang mengubah tatanan dan hubungan Barat dan Dunia Islam.
Dubes Santri
Sekarang, perlu dicatat, di masa Jokowi setidaknya mulai muncul para duta besar yang berasal dari kultur santri. Salah duanya, yang saya kenal adalah HE Hajriyanto Yasin Thohari dan HE Zuhairi Misrawi.
Mas Hajri, begitu biasa saya panggil, adalah santri modernis Jawa yang jadi duta besar RI di Libanon. Dan Bro Zuhairi, biasa saya panggil sebelum jadi Dubes Tunisia, berasal dari subkultur santri tradisionalis Madura.
Keduanya memahami Islam Indonesia yang ramah itu, terlibat aktif di Muhammadiyah dan NU, dan berlatar politisi partai nasionalis Golkar dan PDIP.
Kental dengan kesantrian Islam Indonesia dan mempunyai minat yang sama untuk mengenalkan atau menginternasionalkan Islam Indonesia yang ramah. Kedua dubes aktif sekali kampanye Islam Indonesia di Libanon dan Tunisia.
Dubes Hajri mendukung Lazismu Muhammadiyah untuk membeli dua gedung berlantai 13 di Beirut untuk Madrasah dan Klinik Muhammadiyah-Lazismu.
Sekolah dan klinik kesehatan ini didedikasikan untuk pengungsi Palestina dan pengelolaannya diserahkan kepada warga muslim di sana.
Dubes Zuhairi yang baru bertugas Januari lalu juga mulai aktif mengampanyekan Islam yang ramah, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di Tunisia.
Melalui tulisan-tulisannya di media, Mas Hajri dan Bro Zuhairi memperkaya tukar budaya Libanon-Indonesia dan Tunisia-Indonesia. Sejalan dengan ini, Gus Misrawi juga mulai menerjemahkan buku-buku cendekiawan Muslim Indonesia seperti Cak Nur dan Gus Dur ke bahasa Arab.
Dubes-dubes santri inilah yang saat ini diperlukan untuk memperkuat pemahaman dunia bahwa Islam Indonesia itu penting dan bisa jadi model lain dari corak dan karakter Islam yang dipersepsikan dan dialami di Barat dan Dunia muslim saat ini.
Selain tentu saja piawai mempromosikan dan memperkuat kerja sama ekonomi, perdagangan, pertahanan, dan pendidikan serta sektor penting lainnya di luar negeri. (*)
Editor Sugeng Purwanto