Dipasang Ventilator
Setelah saya siuman, saya bertanya dalam hati, “Ini jam berapa?” Sudah lama saya tertidur. Sudah lama saya tidak shalat. Rasanya tidak bisa menghitung. Astaghfirullah Al Adzim, saya cuma bisa beristighfar dalam hati.
Saya baru sadar tidak mampu leluasa bergerak. Masing-masing tangan diikat di pinggir ranjang kanan dan kiri. Demikian juga kedua kaki, tidak bisa bebas diangkat. Suara tidak bisa keluar, ada selang di mulut masuk ke dalam tenggorokan.
Yang teringat suara tartil al-Quran yang familiar di telinga saya. Kalau tidak salah suara Syekh Mishari Rashid yang terdengar dari ruang sebelah. “Mungkin ruang untuk nakes,” pikir saya. Belum genap berpikir, saya tertidur lagi.
Saya dibangunkan oleh salah satu nakes dan ditanya, “Apa benar ini Pak Sulthon?”
Saya jawab dengan anggukan karena mulut masih tersumbat selang.
“Makan Pak?” tanyanya. Saya mengangguk lagi.
“Cepat dihisap, cepat dihisap. Cukup-cukup. Sudah selesai,” itulah kata-kata yang saya ingat. Kata-kata yang mengiringi proses makan yang sakitnya, masyaallah, tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Meskipun saya menghisap makanan dengan cepat, hal itu tidak mengurangi rasa sakitnya. Nyaris komplit penderitaan saya.
Setiap kali saya diberitahu waktunya makan, saya menangis dalam hati. Makan menjadi pengalaman mengerikan.
“Yaa Allah, bisakah tidak makan dulu, saya tak tahan sakitnya,” munajat saya. Kondisi tersebut membuat saya berpikir introspeksi. Apa yang saya alami itu masih di dunia. Ketika saya masih punya keluarga. Saya masih punya kolega yang ahli merawat sakit saya. Saya masih punya finansial untuk membiayai perawatan saya.
Dalam kondisi seperti itu, saya tidak punya kuasa terhadap diri saya. Tidak bisa berbuat banyak untuk menolong diri sendiri. “Bagaimana kelak di yaumul hisab? Apa yang bisa membebaskan diri saya?” pikir saya. Pada saat itu, saya hanya seorang diri dan hanya bergantung pada Sang Khalik semata.
Sejak saat itu, saya berikrar pada diri sendiri. Saya harus menjadi pribadi yang lebih baik setelah sembuh nanti. Lebih hati-hati dalam segala hal. Saya berusaha memantaskan diri menjadi hamba-Nya. Hanya kepada Allah saja berharap ampunan, bimbingan, dan rahmat-Nya.
Saya berkomitmen untuk menahan diri berkomentar di grup Whatsapp. Kalau menemukan yang kurang pas, tidak akan langsung nyerocos. Saya tidak akan berkomentar miring dan mencemooh. Saya usahakan hanya kirim untaian doa.
Saya benar-benar tidak tahu detail kondisi saya ketika dirawat di rumah sakit. Saya baru tahu ketika sudah pulang dan mendapat cerita dari Mizan. Ia menyampaikan kondisi sakit saya semakin memburuk ketika di RSUA. Dokter meneleponnya dan minta izin untuk memasang ventilator. Saya pernah berpesan ke anak-anak, “Kalau terjadi sesuatu kepada saya, jangan sampai dipasang ventilator.” Saya juga berpesan hal yang sama kepada nakes di rumah sakit.
Permintaan dokter tersebut di atas menempatkan Mizan bagaikan makan buah simalakama. Ia ingat betul pesan saya terkait ventilator.
“Pak Dokter, apa tidak ada alternatif lain selain ventilator?” tanya Mizan.
“Mas, ini usaha saya terakhir. Kalau Bapak dibiarkan, Sampean tahu akibatnya,” jawab dokter.
Mizan balik bertanya lagi probilitas keberhasilan penggunaan ventilator.
“Sepuluh persen,” jawab dokter.
“Baiklah Dok, bismillah, kami izinkan Bapak dipasang ventilator,” respon akhir Mizan kepada dokter. Pada akhirnya, Mizan pasrah kepada Allah.
Traumatis dan panik menyelimuti psikologi anak-anak, ketika saya di rumah sakit. Kondisi saya turun naik. Mizan dikabari panas saya tinggi. Ia merasa bersalah terkait keputusan pemasangan ventilator kepada saya. Ia khawatir kondisi yang saya alami adalah bentuk protes karena dipasang ventilator. Selain mengalami demam, keluarga juga mendapatkan kabar bahwa tensi darah saya naik dratis. Hal itu tidak lazim karena biasanya saya menderita hipotensi.
Dalam situasi yang diselimuti kekhawatiran itu, Mizan menghubungi Asep Haerul Ghani (Kang Asep), seorang psikolog senior dari Tasikmalaya yang dekat dengan keluarga kami. Beliau sering kali kami minta memberikan sesi konsul ketika ada problem. Kang Asep memberikan nasihat agar anak-anak mengirim voice mail membangun semangat hidup kepada saya. Dengan bantuan dari nakes, voice mail dari keluarga saya diperdengarkan.
Menurut Kang Asep, meskipun tidak sadar, pikiran bawah sadar saya masih bisa mendengar. Pesan yang disampaikan kepada saya, antara lain:
“Bapak harus sembuh, Bapak masih punya kewajiban menikahkan Faza.”
“Bapak harus tetap semangat untuk mendampingi kami.”
“Bapak masih dibutuhkan umat.” Dan banyak lagi yang lain.
Baca sambungan di halaman 4: Long Covid