Long Covid
Setelah selang dan infus dicopot, saya merasa lega. Meskipun fisik saya masih lemah, ketika mendapat telepon dari anak dan cucu rasanya bahagia sekali. Saya juga mendapat telepon dari Direktur RSUA, Prof Dr Nasronuddin dr, SpPD, KPTI-FINASIM. Beliau bukan orang lain bagi kami. Beliau adalah dokter keluarga kami. Motivasinya menggugah semangat saya untuk sembuh.
Saya sempat uring-uringan ketika di rumah sakit. Ketika saya bertanya kepada nakes kapan saya diizinkan pulang.
Dia menjawab, “Besok”.
Ketika keesokan harinya saya menagih janji, dijawab, “Besok” lagi.
Kondisi itu membuat saya uring-uringan. “Ini saya yang salah dengar atau memang kondisi saya masih belum fit sehingga belum diizinkan pulang?” tanya saya.
Mendapati saya agak marah, pihak RSUA menghubungi Mizan. Anak saya itu bingung mendapat kabar tersebut. Ia kemudian bertanya ke Prof Dr Aryati dr MS SpPK (K), penanggung jawab laboratorium Parahita.
Beliau menjawab, “Kalau bapak sudah begitu berarti sudah sembuh.”
Saya sudah tidak tahan lagi dirawat di rumah sakit. Saya merasakan beban psikologis terasa berat, meskipun baru sekitar dua pekan dirawat. Karena ingin bertemu keluarga, saya agak memaksa Mizan untuk segera mengurus kepulangan saya. Ia tampaknya menyadari bahwa Bapaknya tidak bisa dicegah lagi. Ia bisa membaca stres berat di raut muka ini.
Mizan cepat tanggap melihat keadaan saya masih lemah sepulang dari opname. Saya dikonsulkan ke dr Fuad Hamdun SpPD FINASIM, hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih jelek dan menyarankan harus masuk rawat inap lagi. Keputusan tersebut ditentang anak sulung dengan dalih, bila bapak opname lagi akan ngedrop.
Istirahat di rumah membuat saya tenang dan bisa tidur pulas, meski belum sehat sepenuhnya. Selama di rumah, saya dijaga dua mahasiswa semester akhir Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya). Mereka secara bergantian mengecek perkembangan saya dan memberikan perawatan seperti di rumah sakit; mengukur tensi, melihat saturasi, memasang oksigen karena saturasi masih sekitar 91-92, dan memberi obat. Alhamdulillah setelah tiga hari, hasil pemeriksaan laboratorium sudah mulai membaik.
Beberapa hari di rumah, saya mulai bisa berkirim pesan dan menelepon teman dan pihak-pihak yang membantu saya ketika sakit, antara lain Prof Dr Muhadjir Effendy MAP Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK); Prof Dr Nasronuddin dr SpPD KPTI-FINASIM, Direktur RSUA; dr H Muhammad Hamdan SpS(K), Direktur RS Siti Khodijah Sepanjang; dan teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu di sini.
Dalam komunikasi dengan dokter Hamdan, beliau bercerita Pak Menteri Koordinator Bidang PMK memberi perhatian khusus kepada saya. Staf khusus beliau meminta update kondisi saya tiap dua hari sekali. Perhatian juga diberikan Ibu Dr (HC) Ir Tri Rismaharini MT, Menteri Sosial, lewat Mas Arief’an, Staf Khusus Mensos yang ikut membantu mencarikan darah untuk saya. Bu Risma adalah teman istri saya ketika belajar di SMAN 5 Surabaya.
Saya juga mulai beraktivitas mengikuti rapat harian PWM Jatim. Memberi motivasi kepada sivitas akademi UMSurabaya. Karena sekitar dua puluh dua dosen dan karyawan, yang terpapar Covid 19. Saya juga menyapa teman-teman di Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) dan Laboratorium Parahita. Kondisi saya secara umum berangsur-angsur membaik dan terus berikhtiar agar psikis dan fisik pulih sepenuhnya.
Saya masih mengikuti terapi ozon, fisioterapi, dan selama kurang lebih tujuh bulan, harus dibantu oksigen ketika tidur. Seiring berjalannya waktu, lutut mulai membaik dan mulai bisa duduk iftirasy. Ikhwal emosi saya berangsur membaik. Pencernaan saya beranjak membaik, walaupun masih ada beberapa makanan sensitif terhadap lambung.
Berkenaan saturasi yang lambat menuju normal, saya berkonsultasi dengan dr Mohammad Subkhan SpP, ahli paru dari Rumah Sakit Siti Khodijah. Menurut beliau, paru-paru saya ada restriksi ringan. Walaupun sudah diobati berbulan-bulan, hasilnya masih belum signifikan.
Saya disarankan untuk melakukan olahraga secara bertahap, dimulai dengan yang ringan. Olahraga yang disarankan adalah berenang karena sangat bagus untuk pernafasan. Renang sebenarnya sudah saya tinggalkan puluhan tahun silam tapi saya lakukan lagi untuk meningkatkan kualitas kesehatan. Saya juga melakukan latihan fitnes untuk melatih otot.
Yaa Rabb, Covid-19 mengedukasi manusia hidup sehat jasmani dan rohani. Saya harus bersabar menjalani cobaan ini. Belum selesai proses penyembuhan dari varian Delta, saya ditamui juga varian Omicron selama sepekan. Saya sudah pasrah kepada Sang Pencipta. Saya ketawa cekikikan untuk menghadapinya, berupaya menciptakan suasana adem, riang, dan bahagia agar membuat imun naik.
Imun yang tinggi bisa mengalahkan varian Delta tempo hari dan saya yakin juga bisa dengan mudah menaklukkan varian Omicron yang pupuk bawang ini, insyaallah. Dinamika ini semua adalah qadarullah, sebagai hamba-Nya saya rida menjalaninya.
Pernyataan dr Mohammad Subkhan SpP membuat saya berkontemplasi cukup lama. Beliau menyampaikan, “Kalau Bapak bisa sembuh dari ventilator, kami para dokter tidak bisa diskusi. Secara ilmiah dunia kedokteran tidak bisa menjawab. Ini benar-benar rezeki dari langit.”
Subhanallah, ajal memang hak prerogatif Tuhan. Tidak bisa dimajukan maupun diundurkan. Rahasia milik Allah itu tidak diberikan kepada para nabi dan rasul-Nya, apalagi kepada manusia pada umumnya.
Kematian bisa datang tiba-tiba. Apalagi di saat kritis seperti itu. Kalaulah terselamatkan, tidak cacat hanya butuh kesabaran untuk pemulihan. Sungguh sebuah rahmat, artinya Sang Penguasa jagat terhadap hamba-Nya yang dhaif ini masih memberi kesempatan lagi.
Amanah kehidupan hendaknya dimaknai lebih luas sehingga lebih berarti, maslahat dan sarat akan nilai. Tanggung jawab dakwah yang diembannya lebih dielaborasi secara optimal, baik kuantitas dan kualitasnya. Dengan memberdayakan sumber dana dan sumber daya yang ada, insyaallah capaiannya akan maksimal. Semoga!
*) Wakil Ketua PWM Jatim, Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMSurabaya, Ketua Badan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya, Direktur Utama Laboratorium Klinik PARAHITA Surabaya.
Editor Mohammad Nurfatoni