Jadikan Momen Perubahan
Syamsudin menyatakan, manusia terlahir sebagai makhluk dengan aspek jasmani (lahiriah) dan rohani (batiniah) yang melekat dalam dirinya. Keduanya sama-sama membutuhkan nutrisi. “Tentu cara pemberian asupan nutrisi bagi tubuh secara lahir berbeda dengan batin,” ujarnya.
Dia menegaskan, puasa Ramadhan salah satu sumber asupan nutrisi bagi lahir dan juga batin manusia. Secara lahir tampak dari keteraturan pola makan yang menjadi rukun puasa Ramadhan. Tetapi secara batin berwujud abstrak dan memerlukan sudut pandang yang luas.
Memahami puasa Ramadhan jika dipandang sekilas tampak sekadar menahan lapar, dahaga, dan aktivitas yang sia-sia. Tetapi orang-orang yang paham filosofinya—matang tingkat kedewasaannya—akan mampu memaknai ini sebagai momen perubahan.
Syamsudin menyadari manusia memiliki fase-fase tertentu dalam proses hidupnya. “Apabila ia telah mampu memaknai suatu ibadah sebagai kenikmatan dan kebaikan bagi dirinya maka itulah fase kedewasaan dalam berpikir,” terangnya.
Syamsudin menjelaskan, saat sedang berpuasa Ramadhan, hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang berlawanan dengan keumuman yang ada, akan berbeda makna bagi mereka yang matang dalam berpikir.
Contohnya, orang cenderung merasa lapar saat puasa. Kondisi ini secara umum akan mudah memantik kemarahan. Tapi berbalik maknanya saat puasa Ramadhan. “Kita dilarang marah, emosi, dianjurkan untuk sabar,” ungkapnya.
Kedua, misal memiliki kesempatan untuk balas dendam, tetapi menahan dan tidak melakukannya. Justru memilih memaafkan orang yang telah menyakiti hati. Itulah kondisi yang menurutnya harus dipersiapkan dengan kematangan pribadi dewasa.
Antarkan Kedewasaan Spiritual
Syamsudin mengingatkan, berpuasa tidak serta-merta menjalani ibadan batin untuk menahan diri dari melakukan yang sia-sia. Melainkan, memantik praktik-praktik baik secara sosial, intelektual, maupun spiritual.
“Suatu ketika Nabi Musa AS beribadah di bukit Tursina. Ia melakukan shalat, puasa, dan dzikir. Tetapi ternyata kebaikan ibadah-ibadah itu untuk dirinya sendiri,” cerita Syamsuddin.
Kemudian, lanjutnya, Allah bertanya kepada Musa, “Wahai Musa mana ibadahmu untukku?”
Musa berkata, “Ya Allah sesungguhnya aku telah melaksanakan sholat, telah berpuasa dan berdzikir. Sholatmu adalah untukmu, karena mencegahmu dari perbuatan keji dan munkar. Puasamu adalah untukmu, karena menjaga kesehatan dan melatih kesabaranmu.”
“Dzikirmu adalah untukmu, karena dapat menenteramkan hatimu. Berbagilah kepada sesama, maka ibadahmu tidak hanya bernilai bagi dirimu sendiri.”
Akhirnya dia menyimpulkan, meski berbagi tak mengenal waktu, Ramadhan menjadi momen terjadi peningkatan kesadaran berbagi.
“Ini menjadi bukti bahwa puasa Ramadhan tidak sekadar dapat dihadapi dengan kematangan kedewasaan secara biasa, tapi kematangan individual, sosial, intelektual, dan spiritual harus disiapkan secara terintegrasi sehinggal memunculkan kenikmatan dalam beribadah,” terangnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni