Lukman Harun: Ikon Hubungan Luar Negeri Muhammadiyah, oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku-buku di Pro-U Media Yogyakarta.
PWMU.CO – Lukman Harun! Nama ini, cukup istimewa. Dia dikenal istikamah aktif berkhidmat di Muhammadiyah sejak muda. Jasanya bagi organisasi terbilang khas. Dari titik ini, tak berlebihan jika dia memiliki beberapa sebutan unik.
Lukman Harun itu, antara lain, disebut sebagai “orang lapangan”. Ada lagi yang menyebut sebagai “Menteri Luar Negeri Muhammadiyah”. Tentu, terutama sebutan yang terakhir itu, ikonik.
Lukman Harun lahir pada 6 Mei 1934. Dia lahir di Sumatera Barat, di Kecamatan Suliki Gunung Mas Kabupaten Lima Puluh Kota.
Lukman menyelesaikan pendidikan dasar di Minangkabau. Seusai sekolah di siang hari, Lukman mengaji di surau (baca: pesantren) pada sore harinya.
Pendidikan agama menjadi perhatian utama. Bahkan dia pernah belajar agama selama 7 tahun di Arab Saudi.
Pada paruh kedua 1940-an Lukman Harun menempuh pendidikan di sekolah dasar, kemudian melanjutkan ke SMP Muhammadiyah di Payakumbuh. Saat terjadi Agresi Militer Belanda, Lukman harus pindah ke SMP Darurat di Padang Jopang. Kedua kota yang disebut itu, di Sumatera Barat.
Di Padang Jopang Lukman Harun bisa mengenal lebih dekat beberapa tokoh nasional. Mereka antara lain seperti M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara.
Orang Pergerakan
Setelah tamat SMP pada 1951, Lukman Harun melanjutkan ke SMA Muhammadiyah di Jakarta. Lalu, saat kuliah, dia memilih belajar ilmu sosial dan politik di Universitas Nasional (Unas) Jakarta.
Lukman Harun sosok aktivis. Dia terpilih sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah Jakarta, 1957-1960.
Lukman Harun aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Juga, di Dewan Mahasiwa Unas tahun 1960-1962. Pun, di Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Tak ketinggalan, aktif pula di Federasi Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa Seluruh Indonesia.
Si Politisi
Sebagai politisi Lukman Harun pernah melakukan aksi politik monumental pada masanya. Dia berhasil mengusulkan Hak Interpelasi tentang bantuan luar negeri kepada badan-badan keagamaan di Indonesia, yang didukung 321 anggota DPR-GR pada 27 Juli 1967. Langkah politik tersebut kemudian dikenal dengan istilah Interpelasi Lukman Harun.
Pada 1968 Lukman Harun menjadi Sekretaris Jenderal Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) mendampingi Djarnawi Hadikusumo sebagai Ketua Umum. Tersebab konflik internal pada 1970, dia lepas posisi sebagai Sekretaris Jenderal Parmusi.
Pemilik Ide-Ide Kreatif
Sejak 1971 dia kembali berhidmat sebagai kader Muhammadiyah. Di antara jejaknya, Lukman pernah mengajukan gagasan agar organisasi masyarakat Islam, khususnya Muhammadiyah, menerapkan sistem gaji atau penggajian bagi pengurusnya agar manajemennya lebih profesional.
Tentu Lukman Harun punya alasan. Bagi dia, dengan sistem gaji ini kepemimpinan Muhammadiyah diharapkan berjalan lebih optimal.
Gagasan Lukman Harun itu mendapat penolakan dari orang-orang Muhammadiyah sezamannya. Juga, tidak mendapat restu dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 1990.
Jejak lain, Lukman Harun pernah menyarankan agar Muhammadiyah membuat Lembaga Pengawasan dan Pembinaan Keuangan (LPPK). Ide tersebut pada awalnya menuai pro dan kontra, namun pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1995 di Banda Aceh akhirnya mendapat persetujuan dari seluruh peserta Muktamar.
Jago Lobi
Berkat kegigihan Lukman Harun, Muhammadiyah banyak dikenal, baik di masyarakat Indonesia maupun di dunia internasional. Pernah, di saat-saat Muhammadiyah kesulitan pendanaan untuk mengembangkan amal usaha, dia berinisiatif mencari dana dan bantuan ke dunia Arab.
Lukman Harun juga peduli terhadap masa depan Persyarikatan. Untuk itu dia peduli kepada urusan kaderisasi. Dia peduli kepada penyiapan generasi pelanjut perjuangan Muhammadiyah.
Kepedulian itu dia buktikan dengan jalan membuka akses selebar-lebarnya bagi anak-anak Muhammadiyah untuk memperoleh beasiswa. Untuk itu dia usahakan sumber beasiswa, baik di dalam atau luar negeri.
Beragam Jejak
Di Muhammadiyah Lukman Harun pernah menjadi anggota Majelis Hikmah PP Muhammadiyah 1968-1971. Juga, anggota PP Muhammadiyah 1974-1978 dan 1978 1985.
Selain di Muhammadiyah Lukman Harun tercatat sebagai pegawai di Kantor Pusat Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan, 1952-1954. Dia juga pernah menjadi Pengatur Tata Usaha di Pusat Jawatan Pertanian Rakyat Departemen Pertanian, 1954-1959. Pun, sebagai Penata Agraria pada tahun 1959 di Direktorat Jenderal Agraria – Departemen Dalam Negeri.
Jurnalis dan Penulis
Sisi lain Lukman Harun, dia dikenal sebagai seorang jurnalis. Dia pernah menjadi redaktur majalah Mercusuar, 1965-1967. Pernah memimpin majalah Penyuluh Landreform dan majalah Pedoman Masyarakat pada 1967-1969.
Tak hanya sebagai jurnalis, Lukman Harun juga penulis. Dia telah menulis beberapa buku, di antaranya Potret Dunia Islam. Isinya, tentang perkembangan Islam di negara-negara yang pernah dia kunjungi. Konon, lebih dari 50 negara telah dia kunjungi, terutama negara-negara Islam yang rawan terjadi konflik.
Panjang Usia Perjuangan
Sungguh, di diri Lukman Harun berderet jejak kebajikan. Dia aktif berorganisasi sejak belia. Dia cakap di bidang politik. Dia diplomat yang berbakat. Dia turut mengibarkan nama Muhammadiyah di dunia internasional.
Lukman Harun aktif di berbagai kegiatan keagamaan dan sosial. Dia pernah aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
Dia pernah menjadi Ketua Panitia Pembebasan Palestina dan Masjidil Aqsha, dan Ketua Komite Setia Kawan Rakyat Indonesia-Afghanistan. (baca republika.co.id)
Selain itu, Lukman Harun telah melanglang buana di dunia internasional. Lewat organisasi Komite Solidaritas Islam, dia berkali-kali mengunjungi Bosnia untuk aksi solidaritas ketika negeri itu dilanda peperangan
Kiprahnya sebagai aktivis Islam berskala internasional terbukti lewat partisipasi dia di berbagai pertemuan antartokoh dunia. Din Syamsuddin bahkan menjuluki mantan Sekretaris Jenderal Asian Conferences on Religion and Peace (ACRP) ini sebagai “Menteri Luar Negeri-nya Muhammadiyah” (https://pcinusudan.com 6 Mei 2018).
Lukman Harun wafat pada 8 April 1999 di Jakarta. Orang pergerakan tulen itu, dimakamkan di Tanah Kusir Jakarta. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni