Musafir Menanti Subuh di Depan Masjid Gedhe oleh Ichsan Mahyudin, kontributor Surabaya.
PWMU.CO– Dini hari seorang pria usia 27 tahun duduk di bangku PKL depan Masjid Gedhe Yogyakarta, Ahad (27/3/2022). Dia musafir dari Kota Mataram Lombok. Andhi, namanya.
Pintu pagar utama masjid Kraton Kesultanan Yogyakarta itu masih terkunci gembok. Pria itu duduk di bangku panjang PKL depan masjid. Dia berjaket putih dan bercelana jeans. Jaket putihnya tampak lusuh seperti lama dipakai bepergian jauh.
Sejak pukul satu malam setelah dia menelusuri Alun-alun Kidul lalu menuju masjid. Mengira masjid kraton ini buka 24 jam. ”Saya berharap bisa langsung mandi, bersih diri, dan shalat malam di masjid yang membuat saya penasaran,” ujarnya.
Pintu pagar yang tergembok membuat dia telantar di depan masjid. Dia niatkan menunggu sampai Subuh, Mungkin mulai dibuka.
Dia membawa tas ransel berisi beberapa pakaian. ”Selepas nonton motor GP di Mandalika saya ingin melalang ke Yogyakarta. Libur tiga hari cukup untuk mengelilingi kota ini,” kata Andy.
Dia pemilik dan trainer lembaga bahasa di Mataram. Sebagai pemilik semestinya dia bisa libur sesukanya. Apalagi sistem kerja semenjak wabah corona melanda bisa melakukan secara online. Namun komitmen dengan dua staf yang menunggu di kantornya membuat dia harus menaati jadwal liburannya ini.
Lajang yang segera menikah ini sudah biasa jadi musafir backpacker. Kota di Bali, Banyuwangi, Surabaya, sudah pernah dia kunjungi. Sekarang ke Yogyakarta. Masjid Jogokariyan telah ditengok kemarin.
Semalam keramaian alun-alun dengan beringin kembar dilaluinya. Lepas dari alun-alun langkahnya diarahkan ke Masjid Gedhe ini. Sayangnya terhenti di depan pagar timur masjid yang terkunci sehingga tak bisa masuk.
Tak lama kemudian suara adzan Imsyak berkumandang. Lampu dalam masjid menyala dan pintu utama terbuka.
Miftachudin, peserta training Ideologi Muhammadiyah dari Surabaya datang. Dia juga menunggu di depan pagar itu. Dengan bersarung dan membawa sajadah tipis dia berharap juga bisa shalat lail sebelum masuk waktu Subuh. Niatnya masuk masjid tertahan karena pintu pagar masih digembok.
Seorang ibu dengan membawa motor sesaat lewat dari kampung Kauman. Dia memberi tahu, pintu yang dibuka samping utara. Mereka lalu menuju pintu yang ditunjuk itu tadi dengan memutar ke kanan. Benar pintu sudah terbuka. Alhamdulillah akhirnya bisa masuk sebelum Subuh.
Jejak Kiai Dahlan
Andhy segera menuju kamar mandi menyegarkan badan yang seharian belum mandi. Miftachudin masuk ke ruang utama untuk shalat malam. Jelang Subuh satu per satu jamaah mulai berdatangan.
Situasi masjid dalam masa pandemi masih terasa. Sensor suhu dan perintah bermasker ada di pintu masuk. Begitu juga di dalamnya. Ada pagar pembatas antara shaf jamaah dari lingkungan dipisahkan dengan jamaah pendatang.
Mihrabnya cukup lebar. Ada mimbar berukir warna keemasan berundak empat tempat khotib Jumat berkotbah. Sebelah kiri mimbar ada jam kuno besar. Lalu pengimaman. Di sebelahnya lagi ada podium kecil untuk ceramah.
Paling kiri mihrab ada bilik berukir dari kayu jati. Juga warna keemasan. Bilik itu tempat Sultan dan punggawa kraton shalat Jumat. Tapi Subuh itu ada jamaah rakyat biasa shalat di situ. Tidak ditegur takmir.
Masjid bersejarah ini milik Kesultanan Yogyakarta. Di tempat ini KH Ahmad Dahlan menjadi menjadi imam dan khotib karena memegang jabatan Katib Amin di Hoofd Penghulu Kraton.
Namun di masjid ini juga Kiai Dahlan pernah bersengketa dengan Ketua Hoofd Penghulu KH Muhammad Kholil Kamaludiningrat karena santrinya mengubah garis shaf ke arah kiblat yang benar. Setelah seratus tahun arah kiblat masjid ini disesuaikan perhitungan Kiai Dahlan. Tampak dari garis shaf di lantai.
Dibangun abad 17 oleh Sultan Hamengku Buwono I. Bangunan utama masjid ini berdiri kokoh dengan pilar-pilar kayu yang masih utuh. Masjid berada di sebelah barat Alun-alun Utara, dekat dengan kampung Kauman lokasi rumah Kiai Dahlan.
D barat masjid ini masuk kampung Kauman ada makam umum. Di tempat itu Nyai Walidah, istri KH Ahmad Dahlan dimakamkan. Terpisah dari suaminya yang dimakamkan di Karangkajeng. (*)
Editor Sugeng Purwanto