Pemasangan Ventilator
Akhirnya, dini hari pukul 01.15 WIB, dokter memutuskan Fari segera pindah ke ruang ICU untuk penanganan intensif. Kebetulan, saya sudah mengenal dokter jaga ICU saat bertugas di Klinik Muhammadiyah Keduyung, yaitu dr Orizanov Mahisa SpAn SC.
Sebelum Shubuh, dr Ori—sapaannya—memanggil saya dan mengatakan, “Anak Mas Har ini kondisi koma.” Dia juga meminta persetujuan saya sebagai orangtua, dokter akan memberikan tindakan pemasangan alat bantu ventilator terhadap anak saya.
Dokter Ori mengatakan tidak mau kecolongan pasien karena terlambat memasang ventilator. Dia juga menjelaskan masih ada persediaan satu ventilator. Dampak pemasangan ventilator itu, katanya, lebih dari tiga hari akan menyebabkan pneumonia.
Tanpa pikir panjang, dari penjelasan dokter, langsung saya setuju. Masalah nanti timbul pneumonia, jadi pemikiran belakangan.
Dari balik kaca ruang ICU, saya melihat dengan hati berdebar dan sedih saat Fari dipasang ventilator. Juga pemasangan monitor ICU, alat untuk mengetahui kondisi fisik yang pasien alami.
Kejang tiap 5 Menit
Beberapa hari, perawat membolehkan saya masuk ruang ICU dan menunggui Fari karena kondisinya sudah kritis. Melihat kondisinya, saya sudah tak tahan dan meneteskan air mata karena setiap lima menit, pasti mengalami kejang-kejang selama satu menit.
Dokter Spesial Anak Taufiqur Rahman SPA dalam lembaran rekam medis mendiagnosa penyakit anak saya ensefalitis, pneumonia, dan henti nafas. Obat pun sudah maksimal diberikan.
Tak terhitung berapa botol ampul obat injeksi yang masuk ke tubuh Fari. Tidak cukup cairan dan injeksi yang diberikan, tindakan rontgen dan suction—pengambilan lendir yang menyumbat jalan napas diambil sehari lebih dari tiga kali.
Dukungan, empati, dan perhatian dari saudara-saudara kandung membuat saya tegar. Mereka datang silih berganti menjenguk, meskipun saudara saya ada yang jauh dari kota Grsik, Surabaya, Sidoarjo, Bogor, dan Cilegon Banten.
Tak lupa, paklek bulek (paman dan bibi), keponakan, misanan (sepupu), tetangga, dan pengasuh pondok al-Ishlah Drs KH Muhammad Dawam Sholeh beserta pengurus dan guru SMPM 12 Sendangagung. Ada pula teman dan semuanya yang tidak bisa saya sebutkan.
Menunggu Keajaiban
Perawatan di ICU sudah berjalan dua pekan, tapi belum ada tanda-tanda Fari sadar dari koma. Dia masih mengalami kejang-kejang terus sampai tumit dan badannya lecet-lecet akibat kejang dan terlalu lama berbaring.
Dokter memprediksi pasien untuk sembuh di bawah 40 persen dan menunggu keajaiban.
Setiap hari, 24 jam di ruang ICU ini, suara mesin terus berbunyi. Ini membuat kondisi saya dan istri selalu was-was terjadi sesuatu pada anak saya. Apalagi kalau ada petugas ruangan memanggil nama saya dengan mikrofon, dalam hati terbesit jangan-jangan terjadi apa-apa pada anak saya.
Saya dan istri sudah pasrah dan berdoa yang terbaik untuk anak kami. Bahkan sudah saya ikhlaskan kalau Allah mengambilnya. Dalam pikiran saya, kalau nanti diberi hidup, Fari pasti tidak bisa normal karena syaraf otaknya sudah rusak akibat kejang ratusan kali.
Baca sambungan di halaman 3: Tindakan Trakeostomi