PWMU.CO– Beda Kurikulum Merdeka dengan kurikulum sekarang ini dibahas dalam workshop SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, Kamis (31/3/2022).
Program Sekolah Penggerak segera dilaksanakan pada tahun ajaran baru 2022-2023. Untuk mempersiapkan seluruh tenaga pengajarnya, Smamda Surabaya, sebutan sekolah ini, mengundang Fadibah Setiawan SPd MPd dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Jawa Timur memberikan materi pengenalan Kurikulum Merdeka.
Kepala Smamda Astajab MPd mengatakan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi sudah membuat Merdeka Belajar sampai Episode 15. Yaitu Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar.
”Diharapkan guru-guru Smamda bisa mengejar informasi dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya,” katanya.
Fadibah Setiawan dalam paparannya menjelaskan, kurikulum ini untuk mengatasi learning loss yang terjadi selama pandemi. Ada yang hilang dari proses pendidikan kita sehingga Indonesia harus melakukan perubahan yang cepat namun tepat, di antaranya adalah K-13, kurikulum darurat, kemudian merdeka belajar ini.
Menurut dia, ada tiga tantangan besar pendidikan saat ini yang harus diselesaikan. Menteri Nadiem Makariem menyebutnya dengan tiga dosa besar yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.
Tiga ini dapat menghambat terwujudnya lingkungan belajar serta memberikan trauma dalam kehidupan seorang anak.
”Perundungan bisa terjadi karena nilai, karena ada yang tertinggal dalam proses pembelajaran, maka di sinilah akhirnya tidak ada nilai ketuntasan dalam kurikulum ini. Semuanya disesuaikan dengan minat dan kemampuan siswa. Bukan berorientasi pada nilai lagi. Maka siswa benar-benar merdeka belajar,” kata Iwan, panggilannya.
Projek Berbeda
Terjadi diskusi mendalam untuk pemahaman kurikulum ini. Merdeka belajar mengajak tenaga pendidik untuk berkolaborasi bukan sekadar bekerja sama.
Jadi beberapa mata pelajaran bersinergi untuk membuat projek dengan tema yang telah ditetapkan.
”Apa perbedaan antara PBL (Project Based Learning) yang biasa kami lakukan dengan Projek Kurikulum Merdeka?” tanya Supriyanto, guru Fisika.
Iwan menjawab, ”Sangat berbeda. Kalau PBL itu masuk dalam intrakurikuler sementara Projek Kurikulum Merdeka masuk pada ko-kurikuler. Segi penilaiannya pun berbeda. PBL acuan penilaian pada kompetensi dari masing-masing mata pelajaran maka Projek Kurikulum Merdeka fokusnya pada profil pelajar Pancasila.”
Salah satu keunikan projek ini, menurut dia, memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk aktif mengeksplorasi isu-isu aktual. Misalnya, isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung pengembangan karakter dan kompetensi profil pelajar Pancasila.
Guru dan siswa bisa terlibat dalam proses perancangan projek ini. Dulu arah tujuannya pada ketercapaian Kompetensi Dasar namun sekarang pada profil pelajar Pancasila, value siswa yang akan dilihat dan langkah-langkah yang akan dilakukan siswa. Itulah kompetensi yang harus dicapai, dan usaha itu nilainya.
Hasil akhir diserahkan kepada guru masing-masing, akan ada koordinator projek masing-masing rombongan belajar atau fase pembelajaran dari guru yang ditentukan oleh kepala sekolah.
Projek di Kurikulum Merdeka memiliki delapan tema yang disediakan. Sekolah Menengah Atas yang kemudian disebut fase E dan F memilih tiga dari delapan tema setiap tahunnya.
Setiap tema pasti ada topik dan permasalahan yang harus diselesaikan, misalnya, mengatasi kebersihan sekolah, bagaimana mengatasi masalah ketertiban sekolah, atau sekolah boleh menarik masalah yang ada terlebih dahulu untuk kemudian diletakkan dalam tema yang telah disediakan.
Hendy Bayu Pratama, guru Bahasa Indonesia, mengatakan sudah paham beda kurikulum Merdeka Belajar dengan sebelumnya.
”Materinya sudah cukup jelas dan disampaikan mulai dari dasarnya. Ini harus duduk sesama serumpun mapel serta waktunya memang harus dialokasikan agak lama agar terasa sekali aplikasinya.”
”Sekolah harus mempunyai ciri khas sendiri karena dari kurikulum sudah membebaskan berinovasi,” tambahnya. (*)
Penulis Maurice Anantatoer Akbar Editor Sugeng Purwanto