Konten Pembelajaran Anak Harus Menarik
Kang Deden meminta para peserta pelatihan agar memikirkan konten pembelajaran yang menarik bagi anak-anak. Ia menilai sudah sangat ketinggalan zaman kebiasaan siswa Indonesia yang lebih memfokuskan pada laporan hasil belajar melalui angka-angka yang ada rapor di tiap semester.
Sementara, di Amerika anak sekolah tingkat dasar sudah mampu dan terlatih dalam mempresentasikan tugas, berdebat, dan mampu berkomunikasi dengan baik.
“Maka melalui pelatihan ini, mari kita sama-sama belajar membuat konten yang menarik. Insyaallah kita bisa memperbaiki diri sebagai pendidik,” ajaknya.
Kang Deden menerangkan pada pembelajaran dengan pendekatan quantum, M (massa)-lah yang menentukan output anak. Maka ia mengajak kepada semua peserta agar terus berupaya secara maksimal memperbaiki kualitas layanan pendidikan di sekolahnya. Masa depan anak-anak ada di tangan M, massa suatu benda yaitu guru-guru serta kedua orangtua.
“Sekolah yang bagus adalah sekolah yang mampu mengintegrasikan dan mensinergikan orangtua dan anak,” tuturnya.
Dia mencontohkan, jika para peserta yang berprofesi sebagai guru TK/RA atau KB bekerja di sekolah berbasis Islam seperti di sekolah Muhammadiyah. Lalu menjumpai walisiswa mengantar-jemput anaknya tanpa mengenakan jilbab berarti sekolah tersebut dikatakan belum berhasil menyinergikan program sekolah dengan orangtua.
Founder Guru Asyik dan Menyenangkan (Gurame) ini menyarankan pentingnya ada sinergi parenting agar orangtua dapat memberikan contoh islami sesuai dengan ajaran di sekolahnya.
“Di sekolah mengajarkan siswa agar shalat berjamaah. Maka selama di rumah orangtua dapat memastikan siswanya menjalankan ibadah secara tertib shalat lima waktu setiap kali adzan dikumandangkan,” jelasnya memberikan tambahan contoh.
Oleh sebab itu, Kang Deden menegaskan penting bagi sekolah menciptakan sinergi parenting minimal tujuh kali dalam setahun. Bahkan sekolah harus bisa bertindak tegas apabila ada orangtua yang tidak mendukung program sekolah.
Menurutnya, sekolah yang hebat juga harus berani memberikan sanksi kepada orangtua yang melanggar. Misalnya dengan mempersilakan mencabut atau memindahkan anaknya sekolah di tempat lain.
“Karakter anak terbentuk 24 jam di rumah bukan di sekolah. Sekolah kita bukan laundry, dimasukin langsung jadi. Sebagai guru jangan mau disalah-salahin,” katanya.
“Faktanya, ada orangtua nyasar, orangtua bayar, alias orangtua belum sadar. Orangtua seperti itu suka sekali menyalahkan guru dan suka protes,” lanjutnya.
Baca sambungan di halaman 3: Sekolah Partner Orangtua