PWMU.CO– Jadi rocker. Begitu kata anak band ini. Penampilannya memang lain dibandingkan teman-temannya di SMA Muhammadiyah 1 Taman (Smamita) Sidoarjo. Rambutnya gondrong dikuncir. Itulah Roy Ibrahim.
Siswa kelas XI IPA 3 Smamita itu drummer group band Deadsquad. Dia lahir dari keluarga pencinta dan penikmat musik. Musik telah mengalir sejak kecil di tubuh Roy Ibrahim.
Dia juga mahir main gitar. Tapi drum pilihannya. ”Bermain drum itu keren. Sangat menikmati setiap pukulan stik atau injakan kaki pada pedal drum. Seorang drummer itu terlihat punya segalanya,” kata Roy Ibrahim saat ditemui di sekolah, Kamis (31/3/2022) lalu.
Musik metal dia sukai karena pengaruh lingkungan keluarga yang kebetulan menyukai genre musik itu. ”Studio musik, bisnis milik keluarga bermain lebih banyak dari aliran musik metal, sehingga kebawa saja sampai sekarang,” ungkapnya.
Dia bergabung dengan Deadsquad, berawal dari aktivitasnya di media sosial Instagram. Saling follow Instagram dengan Stavy Item, gitaris kedua Andra and the BackBone pada tahun 2018.
Tahun 2019, Roy bertemu dengan Stavy Item ketika Andra and the BackBone manggung. Dia minta bertemu. Kemudian ngobrol dan nyambung hingga sekarang.
”Pada tahun 2020, diminta untuk latihan bareng dengan Deadsquad. Alhamdulillah cocok. Dari situ saya bisa menjadi drummer Deadsquad,” katanya.
Kontrak Tiap Tahun
Dia tiap tahun teken kontrak dengan grup ini. Sekarang sudah menandatangani kontrak hingga akhir tahun 2022.
Dia bersyukur dari hobi main drum, kini jadi profesional. Keuntungannya sudah punya penghasilan. Terus semakin banyak follower Instagram @royibrahimf_.
Banyak juga endors masuk dan bisa mengenal banyak orang di sana-sini. ”Paling keren bisa jadi brand ambassador merek drum ternama,” ungkap Roy.
Pada agenda panggung virtual I Don’t Give A Fest (IDGAV) 2021, Deadsquad berkesempatan manggung bareng Isyana Saraswati.
”Dari situ, akhirnya alhamdulillah bisa manggung bareng dengan Isyana, artis nasional,” katanya.
Pilih Smamita
Dia bersekolah di Smamita atas arahan ibunya. Alasannya sekolah itu bisa memfasilitasi tallent anaknya menjadi pemusik.
”Kelebihan lain kan sekolah yang punya lift yang digunakan siswa, bukan sekadar pajangan,” katanya.
Dia tidak menemukan kesulitan belajar dan bermain musik. Sekolah sudah menyediakan fasilitas hybrid learning. Kapan dan di mana saja berada masih bisa mengikuti pelajaran.
”Belajar masih bisa mengikuti, kecuali kalau saya sedang ada event, nanti bisa tanya ke gurunya. Bu Fitri ini (wali kelas) yang sering saya repotin, karena mata pelajaran Matematika, hehehe,” katanya.
Setelah lulus Smamita, dia tetap ingin di musik. ”Kalau cita-cita, pingin nge-band sampai tua. Jadi rocker terkenal,” selorohnya. (*)
Penulis Emil Mukhtar Efendi Editor Sugeng Purwanto