Bolehkah Suami-Istri Bermesraan di Siang Hari Puasa Ramadhan, Oleh Ustadzah Ain Nurwindasari.
PWMU.CO – Puasa (shiam) ialah menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual suami istri dan segala yang dapat membatalkannya mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat karena Allah SWT (Buku Tuntunan Ramadhan, http://tarjih.muhammadiyah.or.id/).
Di samping itu puasa bukan hanya sekAdar perbuatan fisik berupa menahan lapar, haus, dan dorongan seksual. Hakikat puasa adalah pembinaan dan pengendalian diri dari perbuatan-perbuatan tercela.
Adapun puasa Ramadhan merupakan puasa yang wajib dilaksanakan selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
Puasa Ramadhan memiliki keutamaan dan kedudukan yang mulia dibandingkan puasa lainnya. Karena selain hukum pelaksanaannya wajib, juga terdapat keutamaan berupa dihapusnya dosa bagi yang melaksanakannya karena iman dan mengharap ridho Allah SWT.
Oleh karena itu umat Islam perlu memperhatikan beberapa hal yang menjadi penyebab batalnya puasa maupun yang dapat merusak pahala puasa. Di antara penyebab batalnya puasa ialah sebagaimana disebutkan dalam definisi di atas, yaitu makan, minum, berhubungan intim dan hal lain seperti sengaja memasukkan benda ke dalam mulut.
Adapun hal-hal yang dapat merusak pahala puasa, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta (qaul az-zuur) dan malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR Bukhari, No. 1903)
Para ulama menafsirkan qaul az-zuur sebagai perkataan yang menyimpang dari kebenaran dan condong kepada kebatilan. Seperti berdusta, fitnah, namimah (adu domba), ghibah(membicarakan keburukan orang lain), mengumpat, dan perkataan buruk lainnya.
Terkait kekhawatiran akan hal-hal yang dapat membatalkan puasa ataupun merusak pahalanya, muncul pertanyaan bagaimana hukum suami istri bermesraan pada saat menjalani ibadah puasa? Apakah hal tersebut dapat membatalkan puasa?
Bermesraan dalam hal ini mencakup perilaku mencium, mencumbu, maupun memeluk.
Majelis Tarjih Muhammadiyah telah membahas hukum mencium istri ketika puasa di dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1 halaman 108 dan buku Tanya Jawab Agama Jilid 3halaman 150.
Menjawab permasalahan ini, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengambil hadis yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium dan mencumbu (istri-istri beliau) padahal beliau sedang berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya dibandingkan kalian.” (HR Bukhari No. 1927 dan Muslim No. 1106)
Juga berdasarkan hadis dari Ummu Salamah:
عَنْ أُمِّ سَلَمَة : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم كَانَ يُقَبِّلُها وَهُوَ صَائِمٌ } . متفق عليه
“Dari Ummu Salamah: bahwa Nabi SAW pernah menciumnya, padahal beliau berpuasa” (HR Bukhari dan Muslim).
Atas dasar hadis di atas maka Majelis Tarjih menilai bahwa mencium istri di saat puasa tidak membatalkan puasa.
Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada hadits pertama telah disebutkan pernyataan Aisyah yang seakan menjadi peringatan bagi umat Islam, yaitu kalimat ‘وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ’ (dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya dibandingkan kalian).
Seakan-akan Aisyah ingin menyampaikan bahwa kemampuan Nabi Muhammad SAW dalam mengendalikan nafsunya itulah yang membuat beliau melakukan hal demikian meskipun di bulan puasa.
Artinya tidak semua orang memiliki kemampuan seperti Nabi Muhammad SAW dalam mengendalikan nafsunya.
Hal ini diperkuat dengan hadis sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ
“Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan ada orang lain datang kepada beliau dan bertanya mengenai hal yang sama, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda.” (HR Abu Daud no. 2387 dan Ahmad no. 24631. Al-Albani berkata, “Hadits hasan shahih.”)
Antara yang Muda dan yang Tua
Hadis di atas menjadi pertimbangan para ulama dalam membagi bolehnya orang yang berpuasa mencumbu istrinya. Yaitu bagi orang yang sudah tua yang kecenderungannya nafsunya sudah tidak sebesar ketika masih muda, maka boleh melakukannya. Adapun bagi yang masih muda, maka tidak boleh melakukannya.
Namun demikian, tidak ada jaminan bagi orang yang usianya sudah tua dapat menahan nafsunya. Ada juga beberapa orang tua yang masih memiliki nafsu sebagaimana orang yang masih muda.
Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa pada dasarnya bermesraan suami istri pada saat berpuasa adalah boleh. Namun sebagai umat Islam dalam menjalankan ibadah kepada Allah perlu bersungguh-sungguh menerapkan prinsip kehati-hatian. Diri kita sendirilah yang mengetahui seberapa kuat dalam menahan hawa nafsu.
Perlu diingat bahwa sesuatu yang pada asalnya hukumnya mubah (boleh) bisa bernilai pahala ketika dapat mendekatkan diri kita kepada Allah. Juga dapat bernilai haram jika pada akhirnya dapat mendorong kita melanggar hukum-hukum Allah.
Wallahu a’lam bish shawab. (*)
Ustadzah Ain Nurwindasari SThI, MIRKH adalah guru Al-Islam dan Kemuhammadiyahan SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik; Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Asiyiyah (PDA) Gresik; alumnus Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) PP Muhammadiyah dan International Islamic University of Malaysia (IIUM).
Editor Mohammad Nurfatoni