Bagaimana Iktikaf bagi Orang-Orang yang Sibuk Bekerja?, oleh Dr Zainuddin MZ, Direktur Markaz Turats Nabawi Pusat Studi Hadits
PWMU.CO – Internalisasi dipahami sebagai penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang sesuai dengan masa pemahaman terhadap doktrin (teks keagamaan) itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan zaman banyak profesi dituntut bekerja maksimal dan optimal. Tampaknya tidak mungkin meninggalkan profesi 10 hari akhir Ramadhan dan berdiam di masjid untuk menjalani iktikaf. Lalu bagaimana sebenarnya kita bisa iktikaf sambil tetap bekerja seperti biasa.
Konsepsi iktikaf adalah berdiam diri dan perenungan yang diikuti bacaan wirid “Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang mengampuni dosa, Engkau suka pada pengampunan, maka ampunilah dosa-dosaku.”
Jika dilakukan di bulan Ramadhan, maka dilakukan pada 10 hari terakhir yang erat kaitannya untuk meraih kemuliaan syang nilainya seribu bulan.
Dalam konteks kekinian, mungkinkah internalisasi hadits-hadits iktikaf yang dapat diaplikasikan pada kondisi umat yang serba berubah?
Tulisan ini dimulai paparan prosesi iktikaf secara normatif sebagaimana yang dahulu dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Syariat Iktikaf
Ditemukan beberapa teks yang mensyariatkan iktikaf yang diriwayatkan: pertama, Thalhah bin Ubaidillah yang dikeluarkan oleh Bukhari: 46, 1333; Muslim: 11, 14;
Kedua, Abdullah bin Umar yang dikeluarkan oleh Bukhari: 1921; Muslim: 1171; Abu Dawud: 2465; Ibnu Majah: 1773; Ahmad: 6172.
Ketiga: Aisyah (istri Nabi SAW) yang dikeluarkan oleh Bukhari: 1922; Muslim: 1172; Abu Dawud: 2462; Ahmad: 24657.
Keempat, Aisyah lagi (lewat jalur mata rantai perawi Amrah binti Abdurrahman) yang dikeluarkan oleh Bukhari: 1928, 1936, 1940; Muslim: 1172; Abu Dawud: 2464; Nasai: 709; Ibnu Majah: 1771; Ahmad: 24588, 25939.
Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Umar RA sebagai berikut:
Hadits Ibnu Umar
وَعَنْ نَافِعٍ, عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, قَالَ نَافِعٌ: وَقَدْ أَرَانِي عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْمَكَانَ الَّذِي كَانَ يَعْتَكِفُ فِيهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمَسْجِدِ
Dinarasikan Nafi’, Abdullah bin Umar RA berkata: Rasulullah SAW beriktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Nafi’ berkata: Abdullah telah menunjukkan padaku tempat beriktikaf Rasulullah SAW di masjid itu.
(HR Bukhari: 1921; Muslim: 1171; Abu Dawud: 2465; Ibnu Majah: 1773; Ahmad: 6172)
Redaksi yang hampir sama juga diriwayatkan Aisyah RA sebagai berikut:
Hadits Aisyah
وَعَنْ عَائِشَة رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Aisyah RA berkata: Rasulullah SAW beriktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian aktivitas iktikaf itu ditindaklanjuti oleh para istrinya sepeninggal beliau.
(HR Bukhari: 1922; Muslim: 1172; Abu Dawud: 2462; Ahmad: 24657).
Kendala utama dalam internalisasi hadits iktikaf, dikarenakan munculnya beberapa persyaratan iktikaf sebagaimana yang banyak dipaparkan dalam referensi fikih Islam.
Baca sambungan di halaman 2: Empat Syarat Iktikaf