Analisis Hadits
Rambu-rambu bagi orang yang iktikaf secara normatif tampak sangat ketat, khususnya terkait dengan waktu dan tempatnya.
Sebagaimana paparan di atas, secara normatif ada persyaratan di Masjid Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Aqsha, dalam teks hadits lain juga ditemukan di masjid jamik.
Akar masalahnya adalah memahami “la iktikaf”, apakah dimaknai “lam li nafyi shihah” atau “lam li nafyil kamal”.
Jika dimaknai yang pertama, maka alangkah sulitnya seseorang melakukan iktikaf karena dipersyaratkan harus di tiga masjid tersebut.
Apalagi bagi umat yang berdomisili jauh dari ketiga masjid itu bahkan kita yang berdomisili di Indonesia. Haruskah kita mendatangi ketiga masjid tersebut untuk menjalani iktikaf? Padahal agama Islam itu bercirikan fitrah, semestinya semua umat di manca negara ini dapat menjalani iktikaf dengan mudah.
Jika dimaknai yang kedua, maka tempat iktikaf memang yang sempurna dilakukan di tiga masjid di atas, namun tidak menafikan iktikaf di manapun orang berdomisili. Apakah mereka yang hidup di sahara yang tidak ditemukan masjid padanya, di rumah, di kantor atau lokasi manapun yang seseorang dapat melakukan perenungan yang diikuti bacaan wirid “Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang mengampuni dosa, Engkau suka pada pengampunan, maka ampunilah dosa-dosaku.”
Catatan Akhir
Jika seorang wanita sedang haid, ia memang terhalang melakukan iktikaf di masjid, namun ia tentu juga dapat melakukan iktikaf di sahwah (bilik khusus di rumah untuk kegiatan shalat dan dzikrullah), bahkan ketika mempersiapkan logistik makan sahur bagi keluarganya, ia juga dapat melakukannya sambil dzikir tanpa mengalami kesulitan.
Maka sedemikian pula mereka yang merasakan disibukkan dengan berbagai aktivitas, sambil bekerja ia tentu masih bisa membarengi dengan membaca dzikir sebagaimana layaknya mereka yang sedang beriktikaf di masjid, hanya saja tentu tidak sekhusuk mereka yang sedang menjalaninya di masjid jamik. (*)
Artikel ini kali pertama diterbitkan oleh majalah Matan.
Editor Mohammad Nurfatoni