Kelas tanpa Tata Tertib, Pemahaman Komitmen dan Konsekuensi Logis di SDMM, liputan Muhammad Ilham Yahya, kontributor PWMU.CO Gresik.
PWMU.CO – Kelas tanpa tata tertib menjadi kajian menarik di SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik, Kamis (7/4/2022). Kajian ini erat kaitannya dengan keyakinan kelas yang sudah diterapkan di SDMM sejak tahun lalu.
Penanggung Jawab Bimbingan Konseling Ria Eka Lestari SSi mengaku sudah menerapkan saat ia menjadi pendamping kelas IV Bima Sakti. “Komitmen dan konsekuensi logis itu mulai diterapkan di SDMM pada tahun pelajaran 2021/2022 sebagai salah satu program dalam Satuan Pendidikan Ramah Anak (SRA),” ujarnya.
Ia mengajak semua guru mendengarkan podcast dari kelas dispilin positif oleh Irfan Amalee—seorang praktisi pendidikan, penulis, pengembang media kreatif, dan founder Peace Generation Indonesia.
Podcast dari Irfan Amalee tersebut dipersembahkan oleh program “Ayo Main” yang didukung oleh GUYUB. Sebuah kolaborasi antara Peace Generation Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam mempromosikan pendidikan perdamaian di Indonesia. Dalam podcast yang berdurasi selama 8 menit 17 detik itu menceritakan episode dua tentang konsekuensi logis bukan hukuman.
“Bani melakukan sebuah pelanggaran, sebagai konsekuensinya Bani diharuskan berdiri di depan ratusan siswa lain di sekolahnya. Hal ini bagi beberapa temannya mungkin biasa, tapi bagi Bani yang agak pemalu hal ini adalah sesuatu yang betul-betul mempermalukan dan menjatuhkan harga dirinya. Akibat kejadian ini, hari berikutnya Bani mogok ke sekolah dan dia minta ke orangtuanya untuk dipindah ke sekolah lainnya.”
Kalimat di atas cuplikan script podcast dari Irfan Amalee. Sebuah hukuman yang dianggap guru bisa menjadikan siswa untuk berubah, ternyata bagi beberapa siswa menyisakan sebuah efek samping.
“Efek samping dari sebuah hukuman terdapat empat prinsip yang dikenalkan dengan prinsip 4R. Resentment (kebencian), rebellion (pemberontakan), revenge (balas dendam), dan retreat (menarik diri),” jelas Ria Eka Lestari.
Resentment, kata dia, artinya kebencian. Anak-anak yang dihukum akan cenderung merasa tidak adil, dan berkata “Saya tidak akan percaya sama orang dewasa”.
Ia melanjutkan, rebellion artinya pemberontakan. Dalam hati, siswa akan memberontak untuk mencari pembuktian cara tersendiri. “Revenge yang artinya balas dendam. Mereka sebagai anak cenderung berpikiran sekarang orang dewasa boleh menang, tapi lihat nanti pembalasan dari saya,” lanjutnya.
Yang terakhir, kata dia, retreat artinya menarik diri. Mereka akan cari cara untuk melakukan tanpa sepengetahuan orang dewasa.
Dampak Psikologi Hukuman
Di akhir sesi, Irfan Amalee menyimpulan bahwa sebuah hukuman yang kita anggap bisa mengubah perilaku, ternyata memberikan dampak psikologis yang berbeda pada anak-anak. “Oleh karena itu, dalam displin positif kita tidak menggunakan hukuman tetapi menggantinya dengan konsekuensi logis,” tegas Ria Eka Lestari.
Ia menambahkan, konsekuensi logis berbeda dengan hukuman. “Hukuman hanya dijatuhkan sebagai vonis atas perilaku, sedangkan konsekuensi logis adalah akibat yang sudah diketahui dan disepakati sebelumnya atas pilihan anak,” jelasnya.
Ia mencontohkan, jika memegang api maka terasa panas, jika main air maka akan basah. “Memberikan konsekuensi logis kepada siswa yang melanggar harus disertai dengan motif memberikan pengalaman kepada anak tersebut untuk memahami konsekuensi dari pilihannya,” ungkapnya.
Konsekuensi logis, lanjutnya, memiliki unsur 3R + 1H. Yaitu related (berkaitan), respectful (menghormati), reasonable (beralasan), dan helpful (membantu). “Konsekuensi logis terbagi menjadi tiga jenis, yaitu jika merusak maka memperbaiki, jika mengabaikan suatu kewajiban maka kehilangan hak, dan yang terakhir jika mengganggu maka akan diberikan jeda atau positif time out,” jelasnya. (*)
Co-Editor Ria Pusvita Sari