Hujan Apresiasi
Kuntowijoyo juga dikenal sebagai seorang sastrawan dan pemikir. Dia penulis yang produktif. Ada puluhan judul buku yang sudah dia tulis dalam beragam tema dan bentuk.
Sebagai akademisi, ada karya buku dengan judul: Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (kumpulan esai, 1985); Budaya dan Masyarakat, 1987; Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (kumpulan esai, 1991); Radikalisme Petani (kumpulan esai, 1994); Demokrasi dan Budaya Birokrasi (kumpulan esai, 1994).
Juga Metodologi Sejarah (1994); Pengantar Ilmu Sejarah (1995); Muslim Tanpa Masjid; Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (2001); Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas: Esai-Esai Budaya dan Politik (2002); Islam sebagai Ilmu (2004); Penjelasan Sejarah (2008).
Sebagai sastrawan, karya Kuntowijoyo berupa puisi, cerpen, novel, dan drama. Banyak karyanya yang mendapatkan penghargaan
Perhatikanlah, untuk jenis cerpen, ini karya Kuntowijoyo: Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994), mendapatkan beberapa penghargaan. Lalu, tiga cerpennya yang pernah dimuat harian Kompas (yaitu Laki-Laki yang Kawin dengan Peri, Pistol Perdamaian, danAnjing-Anjing Menyerbu Kuburan) mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi koran itu berturut-turut pada 1995, 1996, dan 1997. Masih dari koran yang sama, pada 2005, Kuntowijoyo mendapat penghargaan atas cerpen Asmaradana.
Selanjutnya, untuk jenis novel. Pada 1972, novel Kuntowijoyo berjudul Pasar mendapat penghargaan.
Berikutnya, ini karya Kuntowijoyo dalam bentuk drama: Rumput-Rumput Danau Bento(1968, mendapatkan penghargaan); Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas (1972, mendapat penghargaan); Topeng Kayu (1973, mendapat penghargaan).
Masih berderet karya sastra Kontowijoyo. Berikut ini judul-judulnya: Hampir Sebuah Subversi (kumpulan cerpen, 1999); Mengusir Matahari (kumpulan fabel, 1999).
Kemudian, kumpulan puisi, berikut ini judul-judulnya: Isyarat (1976); Suluk Awang-Uwung (1976); Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995).
Apresiasi, Terus!
Atas karya-karya dan prestasinya, Kuntowijoyo seperti tak putus menerima penghargaan. Misal, ada “Penghargaan Sastra Indonesia” dari Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 1986.
Selain itu, masih berjejer penghargaan lain bagi Kuntowijoyo, seperti: Pada 1995 dia mendapat “Penghargaan Kebudayaan” dari ICMI; “Satya Lencana Kebudayaan RI”, 1997; “ASEAN Award on Culture”, 1997; “Mizan Award”, 1998; “Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra” dari Menristek, 1999; “SEA Write Award dari Pemerintah Thailand”, 1999; “Penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara”, 2001; “Anugerah Kesetiaan Berkarya di Bidang Penulisan Cerpen” dari Harian Kompas, 2002.
Masih Disebut-sebut
Hidup Kuntowijoyo penuh jejak kebajikan. Dia, misalnya, juga aktif di beberapa kelompok kerja. Salah satu di antaranya, dia ikut mendirikan (dan kemudian aktif di) Pusat Pengkajian dan Strategi Kebijakan (PPSK) Yogyakarta. Di situ, dia bersama beberapa tokoh seperti Amien Rais, Ahmad Watik Pratiknya, dan lain-lainnya.
Pada 22 Februari 2005 Kuntowijoyo wafat di Yogyakarta. Kegiatan akademik terakhir Kuntowijoyo sebelum meninggal adalah di Pusat Studi dan Penelitian Kependudukan UGM sekaligus sebagai Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Almarhum meninggalkan gagasan besar bagi pengembangan ilmu sosial di Indonesia, melalui idenya tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Terkait Ilmu Sosial Profetik, Hasnan Bachtiar pada 24 April 2020 menulis “Kuntowijoyo: Peletak Dasar Ilmu Profetik”.
Bahwa, tulis Hasnan Bachtiar, “Karya-karyanya yang relevan dengan wacana mengenai ISP antara lain adalah Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (2004), Muslim Tanpa Masjid (2002), Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002), Identitas Politik Umat Islam (1997), Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991 dan 2008) – (baca lestarihikmah.com).
Terasakan, sampai saat ini Kuntowijoyo masih seperti bersama kita. Dia, seperti masih ada di tengah-tengah masyarakat terutama di kalangan mahasiswa sejarah. Hal yang demikian mudah kita mengerti karena berbagai gagasan yang dibukukannya di banyak judul masih relevan untuk terus dipelajari dan dikaji. Dia, memang, di negeri ini termasuk cendekiawan Muslim yang cukup berpengaruh. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni