Kontribusi untuk Lansia
Kalau di masyarakat Jerman atau negara maju lainnya, Ahmad menyatakan, masalah itu sepertinya demarkasinya umur. “Kalau mereka masih muda, sehat, mereka bahagia seolah-olah lahir batin. Tapi kalau sudah pensiun, kehidupan mereka mulai kehilangan pegangan dan makna karena orientasinya lebih banyak materi,” ungkapnya.
Ketika lansia itu sudah tidak bisa apa-apa, anaknya menempatkan di panti jompo. Dulu, Ahmad pernah menemui lowongan kerja menjadi pendamping penghuni panti jompo seminggu sekali. Tugasnya hanya sekadar mengobrol.
“Karena ketika mereka sudah menua, dianggap seperti barang tua yang diletakkan di gudang. Tidak diletakkan di kehidupan nyata. Sehingga muncul penderitaan,” ungkapnya.
Di sinilah menurutnya gambaran kondisi konsep keluarga sudah menghilang. Dengan nalar demikian, menurut Ahmad, kader PCIM di negara maju masih bisa menemukan tempat berkontribusi untuk meringankan penderitaan warga setempat.
Dia lanjut menerangkan, “Termasuk untuk WNI yang tinggal di luar negeri. Sebelum usia 60 tahun, mereka semangat sekali. Tapi untuk yang berusia di atas 60 tahun.”
Rindu Kondisi Indonesia
Ahmad lantas mengisahkan pengalamannya ketika tinggal di Leiden, Belanda. Dia sering mengobrol dengan pria yang dia panggil Pak Mintarjah, Ketua Committee Central Partai Komunis Indonesia (CC PKI) terakhir.
Dari obrolannya, dia mengungkap ada kerinduan Mintarjah untuk pulang. “Bersama anak-cucu, keluarga,” terangnya.
Dia menyimpulkan, orang-orang lanjut usia di atas 60 tahun yang tinggal di luar negeri pasti merindukan kondisi masyarakat seperti di Indonesia. Lain dengan orang-orang yang masih muda. “Bagi yang muda-muda seolah-olah lebih baik hujan batu di negeri orang daripada hujan emas di negeri sendiri,” imbuhnya.
Demikian Ahmad menekankan pentingnya kepekaan sosial, bagaimana mengisi kekosongan peran di sekitar mereka. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni