Mengapa Tidak Disunnahkan Shalat Khusuf?
Salah satu tuntunan terkenal dari Nabi Muhammad saw tentang shalat gerhana, baik matahari maupun bulan, adalah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى حَيَاةِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ ، فَكَبَّرَ فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ، ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقَامَ وَلَمْ يَسْجُدْ ، وَقَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ، هِىَ أَدْنَى مِنَ الْقِرَاءَةِ الأُولَى ، ثُمَّ كَبَّرَ وَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ، وَهْوَ أَدْنَى مِنَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ . ثُمَّ سَجَدَ ، ثُمَّ قَالَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ مِثْلَ ذَلِكَ ، فَاسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِى أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ ، وَانْجَلَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ ، ثُمَّ قَامَ فَأَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ هُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ ، لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
Dari ‘Aisyah, istri Nabi saw, [diriwayatkan bahwa] ia berkata: Pernah terjadi gerhana matahari pada masa hidup Nabi saw, lalu beliau keluar ke masjid dan jamaah berdiri bershaf-shaf di belakang beliau. Rasulullah saw bertakbir lalu beliau membaca qiraat yang panjang, kemudian beliau bertakbir dan rukuk dengan dengan rukuk yang lama. Lalu beliau mengucapkan sami‘allaahu liman ḥamidah dan berdiri lurus, kemudian tidak sujud, melainkan membaca qiraat yang panjang, tetapi lebih pendek dari qiraat pertama, kemudian beliau rukuk yang lama, tetapi lebih singkat dari rukuk pertama. Kemudian beliau membaca sami‘allaahu liman ḥamidah, rabbanaa wa lakal-hamd. Kemudian beliau sujud. Kemudian pada rakaat kedua (terakhir) beliau mengucapkan ucapan seperti pada rakaat pertama, sehingga terpenuhi empat rukuk dan empat sujud. Kemudian sebelum beliau selesai, matahari lepas dari gerhana. Kemudian beliau berdiri dan mengucapkan tahmid untuk memuji Allah sesuai dengan yang menjadi kepatutan bagi-Nya, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati dan hidupnya seseorang. Jika kamu melihat keduanya, segeralah mengerjakan shalat [HR Bukhari, Nasa’i, dan Ahmad)
Menurut hadits ini, apabila terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, maka dilakukan shalat gerhana. Kata “melihat” dalam hadits di atas tidak diartikan melihat secara fisik, tetapi dimaknai mengalami. Jadi walaupun kita tidak melihat gerhana itu secara fisik karena saat itu hujan lebat misalnya atau keadaan langit berawan tebal yang menghalangi terlihatnya gerhana, saat itu tetap disunatkan shalat gerhana karena kita sedang mengalaminya, meskipun tidak melihatnya secara fisik lantaran tertutup awan tebal.
Pertanyaannya, lantas bagaimana hukum shalat khusuf dalam kasus GBP? Untuk itu, MTT PP Muhammadiyah lebih menekankan pada penyelidikan makna kata “khusuf” dan “kusuf” yang digunakan untuk menyebut gerhana dalam hadits. Perlu ditegaskan bahwa dalam fikih istilah gerhana matahari disebut kusūf dan gerhana bulan disebut khusūf. Namun dalam hadits tidak ada pengkhususan seperti itu.
Kata “khusuuf” yang digunakan dalam kasus gerhana bulan, secara keseluruhan mengandung makna terbenam, hilang, berkurang, membolongi, menyobek. Khusuf berarti piringan bulan hilang terbenam dalam umbra atau hilang sebagian sehingga tampak piringannya seperti terpotong dan tidak utuh karena sebagiannya masuk dalam umbra bumi. Adapun kata “kusuuf” yang digunakan untuk kasus gerhana matahari berarti menutupi, memotong, atau suram, muram atau berubah warna muka.
MTT PP Muhammadiyah lantas menyimpulkan bahwa gerhana yang dalam hadits disebut dengan khusuuf atau kusuuf berarti bahwa piringan matahari atau bulan terbenam dan hilang atau terpotong/ompong dan tampak tidak utuh. Dalam kasus gerhana bulan, ia terjadi ketika piringan bulan tampak hilang atau terpotong atau ompong dan tidak utuh karena masuk dalam umbra. Jika tidak masuk ke dalam umbra, tetapi hanya masuk dalam penumbra, piringan bulan akan tetap tampak utuh (bulat) dan tidak ada bagiannya yang tampak terpotong.
Berangkat dari analisis semantik “khusuuf” dan “kusuuf” itu, MTT PP Muhammadiyah berpendapat bahwa shalat gerhana bulan dilakukan apabila terjadi gerhana di mana piringan dua benda langit tampak berkurang atau tidak utuh atau hilang seluruhnya. Sementara dalam kasus GBP, piringan bulan tampak utuh dan bulat, tidak tampak terpotong, hanya cahaya bulan sedikit redup. Sehingga tidak disunatkan melakukan shalat gerhana bulan.
“Gerhana bulan yang dibicarakan dalam berbagai hadits Nabi Muhammad saw hanyalah gerhana bulan yang umbra, baik total maupun sebagian,” jelas Wakil Ketua PWM Jatim bidang Tarjih, DR Syamsuddin. Karena itu, meski GBP dalam ilmu astronomi bisa saja disebut gerhana, tapi ia bukan gerhana yang dimaksud dalam diskursus fiqih maupun hadits Nabi yang menganjurkan untuk menyelenggarakan shalat khusuf.
Wallahu a’lam bi al-Shawab.