Menukar Uang Lama dengan yang Baru untuk Lebaran, Hukumnya Riba? oleh Ustadzah Ain Nurwindasari
PWMU.CO – Sudah menjadi hal yang lumrah jika menjelang Lebaran masyarakat di Indonesia berbondong-bondong menukarkan uangnya dengan uang yang baru.
Selain memang uang baru terkesan memiliki nilai lebih, juga karena pada momen lebaran di Indonesia terdapat tradisi memberi amplop yang berisi uang baru kepada sanak saudara, terutama kepada anak kecil.
Hal ini tentu merupakan tradisi yang baik (makruf). Sedekah yang diberikan memiliki nilai lebih. Tidak sekadar pemberian materi, tapi juga dinilai istimewa oleh yang menerima.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan penukaran uang di momen Ramadhan ini pemerintah pun melalui Bank Indonesia (BI) telah menyiapkan beberapa titik penukaran uang di bank-bank seluruh Indonesia. Masyarakat pun bisa menukarkan uangnya dengan uang yang baru dengan nilai yang sama.
Namun tidak semua orang dapat dengan mudah mengakses pelayanan tersebut. Sehingga muncullah jasa penukaran uang yang menjamur di tepi-tepi jalan. Sayangnya jasa penukaran uang ini lebih kepada jual beli uang, karena uang yang akan diterima oleh pembeli nilainya tidak sama dengan uang yang diserahkan, karena pemberi jasa penukaran uang pun ingin meraup untung di momen menjelang lebaran.
Pada kenyataannya, penjual uang baru telah mengemas uang baru tersebut dengan berbagai kemasan. Setiap pack-nya penjual memberi selisih 5 hingga 10 persen. Bahkan semakin mendekati lebaran biasanya persentase labanya semakin besar, karena permintaan penukaran uang semakin meningkat dan didorong waktu yang mendesak.
Sebagai contoh jika ingin mendapatkan uang pecahan Rp 20.000, Rp 10.000, dan seterusnya dengan total Rp 100.000 di tempat ‘penjualan’ uang baru di tepi jalan tersebut, seorang penukar uang harus membayarnya sebesar Rp 105.000 hingga Rp 120.000, tergantung momen mendekati lebarannya. Dari sini maka ada selisih Rp 5.000 hingga Rp 20.000.
Baca sambunagn di halaman 2: Menurut Hadits