Kiai di Muhammadiyah, Siapa Saja Mereka? oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar
PWMU.CO– Peran kiai di Muhammadiyah telah dilembagakan maka kiai tak lagi perlu. Tegasnya peran kiai telah diambil oleh Majelis Tarjih sebagai institusi yang memegang otoritas keagamaan yang dilembagakan.
Pendek kata, peran teologis yang berkaitan dengan syariat telah diserahkan pada lembaga ketarjihan. Dengan kata lain Majelis Tarjih adalah kiainya Muhammadiyah dilihat dari substansi dan fungsi yang disandang.
Atau juga salah satu bentuk tawadhu dan kezuhudan. Meski banyak ulama-ulama Muhammadiyah yang kredibel dan memenuhi syarat disebut kiai tapi merelakan diri menyerahkan kemewahan personal itu kepada Majelis Tarjih.
Konsekuensinya adalah peran keulamaan personal telah menyusut atau menghilang. Maka kiai dalam konteks personal tidak diperlukan.
Saya hanya tahu Majelis Tarjih, tapi saya tak pernah tahu siapa saja ulama-ulama tarjih itu. Ini memang problem unik dan khusus di Peryarikatan Muhammadiyah sebagai model keberagamaan kaum kosmopolit yang egaliter dan sentralistik.
Mungkin ini pilihan strategis untuk memangkas konflik dan ikhtilaf dalam beragama meskipun dengan cara mengurbankan keulamaan personal yang ditiadakan. Cara ini jujur sangat efektif dan efisien meski terkesan ringkas, simpel tapi kurang dalam.
Ulama-ulama Muhammadiyah kalau boleh saya sebut realitasnya hanya menyosialisikan putusan dan fatwa-fatwa produk Majelis Tarjih. Tidak ada lagi ruang untuk berijtihad secara personal. Setidaknya pembatasan ketat. Sebab setiap fatwa dan putusan adalah hasil musyawarah kolektif dengan protap ketat.
Ijtihad
Taruhlah ada ijtihad, harus lewat mekanisme dan prosedur dalam pengambilan fatwa. Jadi tidak sembarang orang boleh mengambil putusan sebagai yang tertinggi dan mengikat.
Jadi benarkah bahwa fatwa dan putusan bersifat sentralistik? Meski tetap mengakomodasi aspirasi lokal, masih perlu pembuktian empiris bahwa setiap fatwa atau putusan berdasar kebutuhan jamaah akar rumput atau berpangkal dari isu-isu strategis yang ditangkap oleh Majelis Tarjih.
Kiai Hasyim Muzadi saat itu pernah memuji keberadaan Majelis Tarjih yang sukses meredam konflik internal. Setidaknya keberadaan Majelis Tarjih cukup signifikan mengurai berbagai masalah sebagai jangkar teologis.
Jadi Majelis Tarjih harus tetap disikapi sebagai hasil ijtihad. Bukan suatu yang final dan absolut benar. Termasuk produk fatwa atau putusan yang disuplai sebagai sumber hukum yang mengikat juga masih sangat mungkin di-review sebagai konsekuensi sikap tidak bermadzhab karena taqlid. (*)
Editor Sugeng Purwanto