Iman dan Cinta
Setelah iman kita dapat menemukan cinta kepada Allah atau mahabbatullah, maka sempurnalah kehidupan ini. Dan pada tataran ini boleh jadi kita disebut sebagai insan kamil atau manusia sempurna. Walaupun pada tataran ini juga masih memiliki tingkatan-tingkatan, tergantung sejauh mana kedalaman pemahaman kita pada addien ini. Semakin kita banyak memahaminya maka akan semakin sempurnalah diri ini dalam posisi dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Iman yang benar akan menghasilkan rasa cinta, baik kepada Allah maupun kepada utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya indikator cinta kepada Allah itu adalah meneladani Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam.
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)
Sehingga iman pada perjalanannya akan menghasilkan cinta kepada Allah. Dan jika iman tidak membuahkan cinta kepada-Nya maka hal ini menjadi indicator bahwa iman kita dalam kondisi statis atau jalan di tempat. Iman yang demikian perlu harus diwaspadai. Karena berarti iman kita tidak akan dapat mengantarkan diri pada kebahagiaan yang sejati, sebagaimana yang kita idam-idamkan.
Sehingga kesempurnaan iman sebagaimana dalam hadits di atas adalah jika kita cinta apapun karena Allah, termasuk jika kita membenci juga karena Allah, dan bukan karena nafsu. Demikian pula kita member dan menolak pemberian karena Allah, maka hal ini menjadi indikator kesempurnaan iman dalam diri kita. Hadits ini sekaligus menjelaskan bahwa semua aktivitas kita termasuk menikah, berteman atau berkawan, bekerja dan lain-lain haruslah karena Allah Subhanahu wa Taala.
Bagaimanapun upaya mencapai kesempurnaan iman ini haruslah terus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Maka dengan kesungguhan itulah Allah akan memberikan pertolongan kepada semua hamba-hamba-Nya untuk mencapainya. Tetapi jika sudah tidak ada upaya tersebut, maka iman kita akan tetap menjadi iman yang statis dan tidak tumbuh berkembang. Dan yang sangat mengkhawatirkan adalah jika iman kita lenyap tanpa kita sadari. Na’udzubillah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni