Minus Pemikiran Intelektual
Dengan segala plus minusnya PSI sekarang bisa disebut sebagai satu-satunya partai anak muda milenial. Dengan ideologi liberal, plural, dan sekular, PSI harusnya bisa menarik minat anak muda jika bisa lebih mengartikulasikan aspirasi politik anak muda modern yang konsen dengan isu global seperti teknologi, lingkungan hidup, keseteraan gender, dan problem-problem ketidakadilan ekonomi.
Sampai sejauh ini PSI tidak menunjukkan potensi untuk bisa mewarnai wacana pemikiran intelektual semacam itu. PSI terlalu sibuk dengan politik praktis jangka pendek seperti menghadang Anies pada Pilpres 2024. PSI belum bisa menunjukkan kapasitas sebagai partai kader yang mampu melahirkan politis-politisi muda nasionalis yang intelektual dan berwawasan global.
Dengan memakai nama PSI tentu diharapkan ada tabaruk mencari berkah dari Partai Sosialis Indonesia yang didirikan oleh Sutan Sjahrir semasa perjuangan kemerdekaan. Sejak awal, Sjahrir sudah menunjukkan kapasitas intelektual yang mumpuni yang bisa menyaingi kapasitas intelektual Soekarno dan Hatta. PSI menjadi partai kader yang kecil tetapi sangat berwibawa dan menempatkan diri sebagai antitesa terhadap garis perjuangan Soekarno dan Hatta yang kompromistis.
Sjahrir memilih jalur perjuangan non-kompromi terhadap Jepang, dan dengan demikian berseberangan dengan Soekarno-Hatta yang berkolaborasi dengan Jepang, sehingga disebut sebagai kolaborator.
Sjahrir konsisten dengan sikapnya yang non-kolaboratif terhadap penjajah. Kualitas Sjahrir sebagai pemimpin partai kader bawah tanah membuat Soekarno tidak punya pilihan lain kecuali berbagi kekuasaan dengan Sjahrir dengan mengangkatnya sebagai perdana menteri pada November 1945.
Sekarang lahir PSI baru. Namanya saja yang mirip, tapi bukan reinkarnasi dari PSI lama. Politisi-politisi muda PSI baru tidak menunjukkan kapasitas intelektual ala Sjahrir yang teguh dan konsisten menempuh jalan perjuangan pengaderan intelektual yang sunyi.
PSI milenial tidak melahirkan budaya politik baru kecuali sebutan “bro dan sis” yang menjadi trademark mereka. Elite-elite PSI seperti Grace Natalie tidak mempunyai kapasitas intelektual yang cukup untuk mengangkat isu-isu global. Terpilihnya Giring Ganesha sebagai ketua umum partai menunjukkan bahwa partai ini lebih suka memilih brand ketimbang brain. Memilih nama terkenal ketimbang otak cemerlang.
Kader yang punya pengalaman intelektual dan aktivisme yang mumpuni seperi Raja Juli Antoni, akhirnya harus minggir memberi tempat kepada Dea Tunggaesti sebagai Sekjen. Satu-satunya yang diketahui publik mengenai Dea adalah dia kakak kandung Dokter Raisa Broto Asmoro. Itu saja, selebihnya tidak ada.
Sulit mengharapkan munculnya wacana intelektual dari komposisi elite partai seperti itu. PSI mencoba merekrut kader dari luar seperti Faldo Maldini yang dibajak dari PAN. Faldo yang punya latar belakang aktivisme dan intelektualitas yang baik mungkin terkaget-kaget begitu masuk ke PSI.
Tidak perlu waktu lama bagi Faldo untuk merasa kesepian dan terisolasi di lingkungan PSI. Ia pun lebih banyak muncul dengan atribut sebagai jubir sekretariat negara ketimbang sebagai kader PSI.
Mengapa Tsamara Keluar PSI
Dalam kondisi seperti ini bisa dipahami mengapa Tsmara Amany merasa butuh atmosfer lain untuk bisa lebih mengekspresikan gagasan-gagasannya. Sebagai anak muda milenial yang punya kapasitas intelektual besar Tsamara tidak menemukan lahan yang cukup subur untuk berkembang di PSI.
Tsamara yang menikah dengan Ismail Fajrie Alatas, profesor studi Islam di New York University, ingin lebih mengembangkan kapasitas intelektualnya untuk memperdalam isu-isu kesetaraan gender. Dan Tsamara tidak melihat PSI bisa menampung kapasitas intelektualnya itu.
Ia memutuskan mundur dari PSI. Sebuah keputusan yang seharusnya disikapi dengan biasa biasa saja. PSI pun mencoba play down dengan menganggap pengunduran itu sesuatu yang biasa. Tapi, ternyata tidak sesederhana itu. Beberapa hari berselang isu itu menggelinding menjadi liar.
Tsamara dibully karena dianggap berkhianat, dan kemudian dihubung-hubungkan dengan kemungkinan akan menyeberang ke Anies Baswedan. Seperti biasa, rundungan kalap ala buzzer bermunculan, sampai-sampai muncul postingan fasis ala Nazi Hitler.
Tsamara tentu sudah paham betul karakter para buzzer mata gelap itu. Tapi mungkin baru sekarang dia merasakan bahwa mereka ternyata benar-benar jahiliah.
Tsamara sudah berpetualang di dunia politik dan merasakan tantangan dan peluangnya. Sekarang ia akan memulai sebuah petualangan baru yang mungkin lebih menantang. Ia memutuskan berhenti dari politik dan mundur dari PSI. Tsamara punya cukup brand and brain untuk petualangannya yang baru.
Alih-alih menyesal, Tsamara layak bersyukur karena sudah mengambil keputusan yang tepat. (*)
Petualangan Tsamara, Kenapa Keluar dari PSI? Editor Mohammad Nurfatoni