Potongan Ayat Puasa Ini Kurang Dapat Perhatian, padahal Ada Empat Hikmah darinya, oleh Dr Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Ayat al-Quran yang menjelaskan kewajiban puasa terhimpun dalam satu kelompok ayat, yaitu al-Baqarah 183-187.
Pada kelompok ayat ini Allah SWTmendeklarasikan kewajiban puasa atas hamba-hamba-Nya yang beriman, sebagaimana pernah diwajibkan kepada umat-umat zaman silam.
Tujuannya agar mereka bertakwa kepada-Nya. Kata dasar takwa adalah ittaqa. Ia memiliki makna menjaga jarak dengan sesuatu. Sehingga hamba Tuhan yang bertakwa adalah yang mampu menjaga antara dirinya dengan sesuatu yang ditakutkannya. Dalam hal ini ia ibarat membuat tabir penghalang antara dirinya dan azab Allah saw.
Ulasan para mufasirin tentang kelompok ayat puasa tersebut cukup memadai, bahkan komprehensif, terutama pada aspek fikihnya. Namun demikian ada tiga hal yang kurang memperoleh perhatian.
Yaitu makna kamā kutiba alallażīna min qablikum, makna kata laallakum tattaqun dalam kelompok ayat tersebut, dan keterkaitan atau munasabah antara kelompok ayat tersebut dengan kelompok ayat yang berikutnya.
Bukan Sama dalam Kadar
Pada tiga hal tersebut terdapat hikmah yang berharga dari hikmah-hikmah di balik ayat puasa.
Penggalan ayat kamā kutiba ‘alallażīna min qablikum ini memberikan pengertian bahwa perintah puasa pada umat Muhammad adalah sama dengan perintah kepada umat-umat zaman silam.
Kesamaan di sini bisa jadi dari segi kewajibannya, kadarnya, atau tata caranya. Namun para ulama sepakat bahwa kesamaan yang dimaksudkan adalah kewajibannya, bukan pada kadar dan tata caranya.
Alasannya adalah nalar dalam ilmu balaghah. Dalam ilmu balaghah kata kamā kutibadisebut sebagai tasybih mursal mujmal, yaitu keserupaan yang bersifat global. Dengan pendekatan ilmu ini maknanya menjadi jelas dan tegas, bahwa kesamaan yang menonjol terdapat dalam kewajibannya, bukan dalam kadar dan tata caranya (at-Tafsir al-Munir, I/494).
Azzuhaili menjelaskan puasa sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan sudah dikenal oleh pusat-pusat keyakinan sejak dulunya, bahkan dalam tradisi agama pagan. Sebagaimana terbaca dalam sejarah masyarakat Mesir kuno, Yunani, Romawi, dan India. Dalam kitab Perjanjian Lama puasa masih diakui sebagai ibadat yang terpuji.
Diriwayatkan bahwa Nabi Musa AS melaksanakan puasa 40 hari. Bahkan orang Yahudi dewasa ini puasa satu pekan penuh pada setiap peringatan hancurnya Yerussalem. Juga puasa satu hari pada bulan Ab (Agustus).
Demikian pula dalam kitab Perjanjian Baru. Kitab suci kaum Nasrani ini juga menempatkan puasa sebagai ibadah utama, sehingga pada saat pelaksanaannya harus menghindari riya’ dan keluh kesah. Puasa yang paling masyhur dan kuno dalam agama Nasrani adalah yang disebut sebagai Puasa Besar, yaitu puasa pada hari-hari sebelum Paskah.
Disebut sebagai puasa besar, karena dulunya pada hari tersebut Nabi Isa, dan kaum Hawari melaksanakan puasa. Dalam perkembangannya terdapat juga puasa versi baru yang dikembangkan oleh tokoh tokoh gereja, (at-Tafsir al-Munir, I/495).
Dalam Yoel 2:12-14, dikatakan: “Tetapi sekarang juga,” demikianlah firman Tuhan, “berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh. Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan Allah-mu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia.”
Dalam Matius 4:1-11, juga dikatakan: “Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus. Lalu datanglah si pencoba itu dan berkata kepada-Nya: “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti.”
Baca sambungan di halaman 2: Empat Hikmah Potongan Ayat Puasa