Distorsi Praktik Tasawuf
Dalam melihat status ajaran sufisme, Syafiq membagi dalam dua tahapan, yakni pada zaman Nabi dan era pasca-Nabi. Pada masa Nabi, terdapat praktik ajaran zuhud. Paham ini menggambarkan tentang sahabat-sahabat Nabi yang hidupnya sederhana. Mereka tidak ada keinginan atau nafsu untuk meraih keberhasilan duniawi. Walaupun kaya tapi tidak foya-foya. Praktik zuhud inilah yang menjadi akar dari ajaran tasawuf sekarang.
“Lalu pasca era Nabi, ada sahabat-sahabat yang disebut ubad, karena menghabiskan waktu untuk beribadah. Disebut juga dengan qurra’ karena membaca al Quran tanpa henti. Mereka juga disebut buka karena sering menangis mengingat dosa-dosanya. Mereka tetap berorientasi pada al Quran dan Sunnah, serta memenuhi ketentuan syariat. Saya menyebutnya praktik ini sebagai tasawuf Sunni. Di sini sunni bukan merujuk pada golongan ahlus sunnah wal jamaah, tetapi ialah yang mengikuti sunnah Nabi,” jelasnya.
Setelah itu ada tasawuf non sunni, terdiri dari tasawuf falsafi, malamati, dan qalandari. Pada tasawuf falsafi, mereka sudah berbicara tentang fana’ , hulul, Ittihat, dan shathahat. Fana’ bermakna Individu menjadi hilang, yang ada hanya Allah. Sedangkan Hulul berarti Allah itu masuk ke dalam diri individu. Kemudian ittihad itu maksudnya individu bersatu dengan Allah SWT. Bukan perasaannya, bukan spiritnya. Tapi fisik individu bersatu dengan Allah kemudian mengeluarkan kata-kata yang tidak disadari. Mereka menganggap itu sebagai tingkatan makrifah.
“Kemudian ada wahdatul wujud. Menyatunya alam ini dengan Allah. Hanya ada satu wujud yakni Allah saja. Mereka juga berbicara terkait Nur Muhammad. Bahwa alam semesta ini pada awalnya adalah Nur Muhammad yang diciptakan Allah. Dalam salah satu dokumen sastra itu diciptakan 2000 tahun sebelum Nabi Adam. Belum ada manusia. Kita masih ada dalam dunia prototype. Kemudian ada juga al Haqiqatul Muhammadiyah. Itu mirip-mirip dengan Nur Muhammad. Semua itu menjadi sebuah kepercayaan dalam dunia tasawuf (non sunni) yang menurut kita tidak berdasar al Quran dan Sunnah Nabi,” paparnya.
Lalu ada tasawuf Malamati (menghinakan). Tasawuf yang mengajarkan hidup tidak enak. Misalnya semakin tidak enak yang dimakan, itu semakin bagus. Semakin jelek baju yang dikenakan, maka semakin baik. Mereka tidak mau bekerja, hidup menggantungkan pemberian orang lain. Pergi ke tempat jauh tanpa bekal dengan alasan bertawakkal.
“Sedangkan tasawuf Qalandari adalah tasawuf yang mengajarkan kanuragan. Jadi semakin kebal seseorang semakin tinggi tingkat tasawufnya. Dan yang paling tinggi dialah yang disebut waliyullah. Dia tidak shalat, tidak puasa atau tidak peduli amalan bagus atau tidak. Selama dia sakti (punya karamah), dia disebut wali. Padahal dalam al Quran, wali itu kan orang yang sangat dicintai oleh Allah. Pada zaman Nabi tidak diketahui siapa yang wali dan siapa yang tidak. Karena itu adalah hubungannya dengan Allah SWT. Seperti halnya dia muttaqin atau tidak, itu tidak ada yang tahu. Yang tahu hanyalah Allah SWT,” ujarnya.
Baca sambungan di halaman 3: Tasawuf Perlu, Tarekat Tidak