PWMU.CO – Kemuliaan sang Pemaaf; oleh Dr H Achmad Zuhdi Dh MFil I; Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba yang suka memberi maaf (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati karena Allah kecuali Allah akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat)” (HR. Muslim No. 6757).
Status Hadits
Hadits tersebut dinilai sahih oleh Imam Muslim dalam al-Shahih No. 6757. Selain Imam Muslim, ada beberapa ulama hadis yang juga meriwayatkan hadits tersebut, di antaranya Imam Malik dalam al-Muwaththa No. 3663, Imam Ahmad dalam al-Musnad No. 9008, Imam al-Darimi dalam al-Musnad No. 1718, Imam al-Mundziri dalam al-Targhib Wa al-Tarhib No. 4390, dan Ibn al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul No. 4660. Muhammad Nashiruddin al-Albani juga menilai hadis tersebut shahih (al-Albani, Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, II/322).
Kandungan Hadits
Hadits tersebut menerangkan tentang tiga sikap atau perilaku yang sangat disukai dan dipuji Allah, yaitu dermawan, pemaaf, dan tawaduk. Mengenai kedermawanan, Nabi SAW menegaskan bahwa gemar sedekah itu tidak akan mengurangi harta (tidak akan menjadikan pelakunya menjadi miskin). Sedangkan sikap pemaaf, Nabi SAW memberitahukan bahwa Allah akan membalas dengan kemuliaan kepada orang yang mau memaafkan saudaranya yang bersalah kepadanya. Adapun tentang tawaduk, Nabi SAWmenjanjikan bahwa orang yang suka bersikap tawaduk (rendah hati) maka Allah akan meninggikan derajatnya.
Kemuliaan Memaafkan
Mengingat keterbatasan, dari tiga sikap yang disukai oleh Allah tersebut, hanya sikap pemaaf yang dibahas dalam artikel ini. Sikap suka memaafkan merupakan sifat yang terpuji dan merupakan bagian dari akhlak mulia yang telah diperintahkan. Allah swt. berfirman: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (al-A’raf 199). Juga firman-Nya: “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, maka mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka” (Ali Imran, 159), dan firman-Nya: “…dan hendaklah mereka memaafkan serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-Nur 22).
Orang-orang yang suka memaafkan dalam al-Qur’an disebut al-‘afina (العافين). Asal katanya adalah al-‘Afwu (العفو). Al-Kafawi dalam kitabnya al-Kulliyat, menjelaskan bahwa al-‘Afwu artinya tidak menyakiti (orang yang telah berbuat jahat kepadanya) walaupun mampu untuk membalasnya. Setiap orang yang berhak mendapat balasan yang setimpal atas perilakunya, lalu orang yang disakitinya tidak menuntut balas, kemudian dirinya ikhlas padahal ia mampu membalasnya, dan ia membiarkannya, maka itulah yang dinamakan al-‘Afwu, memaafkan (al-Kafawi, al-Kulliyat, I/53,598).
Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang paling pemaaf dan berlapang dada. Dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Jabir ra. bahwasanya Nabi Muhammad saw. bersabda: “Ada seseorang yang datang kepadaku dan ketika itu aku sedang tertidur, lalu dirinya menghunuskan pedang, aku pun terbangun, dan dia berdiri tepat di atas kepalaku namun aku tidak merasakannya dengan pedang terhunus yang berada di tangannya. Kemudian dia berkata padaku, “Siapakah sekarang yang akan membelamu? Aku menjawab: “Allah”. Kemudian dia mengulangi kembali: “Siapakah yang akan menolongmu? Aku menjawab kembali: “Allah”. Nabi saw. mengatakan: “Seketika itu orang tadi menyarungkan pedangnya, lalu dirinya duduk dan Rasulallah saw. tidak membalasnya” (HR al-Bukhari No. 2910 dan Muslim No. 843). Dalam redaksi lain disebutkan: “Kemudian Rasulallah saw. tidak menyakiti orang tersebut” (HR al-Bukhari No. 4135).
Ibnu Abbas ra. berkata: “Uyainah bin Hishan bin Hudzaifah pernah datang menemui Umar bin Khatab, kemudian dia berkata: “Inilah wahai Ibnu Khatab, demi Allah kamu tidak pernah memberi pemberian pada kami, tidak pula menghukumi kami secara adil”. Mendengar hal itu, Umar langsung naik pitam, marah sampai dirinya berkeinginan buruk padanya. Lalu al-Hur bin Qais mengingatkan: “Wahai Amirul mukminin, (ingatlah) sesungguhnya Allah Ta’ala berkata pada Nabi-Nya, Muhammad saw.:
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (al-A’raf, VII: 199). Sikap seperti ini adalah sikapnya orang jahiliyah”. Sang rawi mengatakan: “Demi Allah tidak sampai sempurna ayat tersebut dibacakan pada Umar melainkan dirinya langsung meredam emosinya. Dan beliau adalah orang yang paling memuliakan terhadap firman Allah” (HR. al-Bukhari No. 4642; Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, III/532).
Baca sambungan di halaman 2: Akhlak Orang Shalih