Bahan Produk Halal dan Haram Menurut MUI. Liputan Alfain Jalaluddin Ramadlan Kontributor PWMU.CO Lamongan
PWMU.CO – Halal Center Universitas Muhammadiyah Lamongan (Umla) kembali mengadakan pelatihan pendamping PPH (Proses Produk Halal), Kamis (21/4/2022) di Auditorium Budi Utomo Umla.
Kegiatan pelatihan ini digelar selama tiga hari, yakni hari Rabu sampai Jumat. Dua hari secara tatap muka (offline) di Auditorium Budi Utomo Umla, dan satu hari secara online melalui Zoom.
Riana Prastiwi MFarm sekaligus ketua Halal Center Umla, di hari kedua memberikan materi tentang pengetahuan bahan produk halal.
Dalam penyampaiannya, Riana Prastiwi lebih suka dengan berdiri dan berinteraksi dengan peserta pelatihan.
Untuk mengawali pembahasan, Riana Prastiwi mengutip Surat Al Baqarah ayat 168:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.
Halal, kata Riana merupakan kata dari bahasa Arab yang berarti diperbolehkan, diterima, diijinkan, dan legal. Sedangkan thoyyib berarti baik dan aman untuk dikonsumsi.
Bu Riana sapaan akrabnya memberikan penjelasan, benda asing seperti rambut, kuku, perhiasan, serangga mati, batu atau kerikil, potongan kayu, pecahan kaca dan lain sebagainya bisa masuk ke dalam makanan.
“Ini jika proses pengolahan pangan dan penjualannya kurang memperhatikan aspek keamanan pangan. Dan bisa membahayakan fisik produk,” ucapnya.
Bahan Proses Produk Halal
Bahan yang digunakan dalam PPH (Proses Produk Halal) menurut UU 33 Tahun 2014 Pasal 17-20 ada empat, pertama bahan baku (raw material), kedua bahan olahan (processing aid), ketiga bahan tambahan (additive), dan keempat bahan penolong.
Riana menjelaskan, bahan baku merupakan bahan yang digunakan dalam pembuatan produk di mana bahan sepenuhnya terlihat dalam produk jadi (atau merupakan bagian terbesar dari bentuk barang).
Kemudian, bahan olahan, menurut Riana yaitu bahan hasil proses pengolahan dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
“Bahan tambahan yaitu bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur, dan memperpanjang daya simpan serta dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein, mineral dan vitamin,” ungkapnya.
Sedangkan bahan penolong adalah bahan-bahan yang diperlukan untuk proses produksi, tetapi hanya dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi saja. Contoh pelarut, katalis, bleaching agent, kuas untuk mengoles kue.
Sementara itu bahan yang digunakan dalam proses produk halal bisa berasal dari hewan dan tumbuhan.
“Bahan yang berasal dari hewan pada dasarnya halal, kecuali yang diharamkan menurut syariat, meliputi bangkai, darah, babi, dan atau hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat,” katanya.
Sedangkan bahan yang berasal dari tumbuhan pada dasarnya halal, namun jika diproses menggunakan aditif dan atau bahan penolong yang tidak halal, maka menjadi tidak halal.
“Jika memabukkan dan atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya, juga tidak halal,” ucapnya.
Selain itu ada mikroba atau bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Bahan yang berasal dari mikroba dan dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik diharamkan jika proses pertumbuhan atau pembuatannya tercampur, terkandung, atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.
Bahan yang Diharamkan Sesuai Fatwa MUI
Riana menambahkan, bahan yang diharamkan menurut fatwa MUI yaitu babi, anjing, dan turunannya. Selain itu hewan yang disembelih tidak sesuai syariat Islam.
“Bahan haram yang ketiga yakni bangkai kecuali ikan dan belalang, keempat hewan darat bertaring panjang atau memiliki gading yang digunakan untuk membunuh mangsa atau bertahan diri seperti beruang, gajah, monyet dan sejenisnya, serigala, singa, harimau, macan kumbang, kucing, tupai, musang, buaya, dan alligator,” terangnya.
Bahan haram kelima yakni burung buas dengan cakar tajam seperti elang, burung bangkai gagak, dan burung hantu. Keenam, hewan hama dan hewan berbisa seperti kelabang, kalajengking, ular, tawon, tikus dan hewan sejenisnya.
“Ketujuh, hewan menjijikkan seperti kadal, siput, serangga, dan larva serta hewan sejenis lainnya. Kedelapan, hewan (termasuk burung dan serangga) yang dilarang untuk dibunuh dalam Islam seperti burung pelatuk, burung hud-hud, semut dan lebah madu. Dan kesembilan keledai dan bagal,” katanya.
Produk yang Tidak Dapat Diajukan Sertifikasi Halal
Terakhir, Riana menyampaikan tentang titik kritis dalam bahan, proses, penyimpanan, pengangkutan yang menentukan halalnya sebuah produk makanan dan minuman.
Yang dimaksud titik kritis utama, kata Riana yaitu tempat yang paling sering muncul sebagai penyebab masuknya bahan haram atau najis ke dalam produk. Selain itu ketentuan produk yang tidak dapat diajukan sertifikasi halalnya.
Pertama, produk yang mengandung nama minuman keras, contoh rootbeer, es krim rasa rhum raisin, bir 0% alkohol.
Kedua, nama produk yang mengandung nama babi dan anjing serta turunannya, seperti babi panggang, babi goreng, beef bacon, hamburger, hotdog.
Ketiga, nama produk yang mengandung nama setan seperti rawon setan, es pocong, mi ayam kuntilanak, atau mi setan.
Keempat, nama produk yang mengarah kepada hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan, ritual atau perayaan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Contoh cokelat valentine, biskuit natal, mi gong xi fa cai.
Kelima, nama produk yang mengandung kata-kata yang mengandung unsur pornografi, vulgar, erotis.
Keenam, produk dengan karakteristik atau profil sensori yang memiliki kecenderungan bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram atau yang telah dinyatakan haram berdasarkan ketetapan fatwa.
Ketujuh, produk atau bahan tidak aman untuk dikonsumsi. (*)
Co-Editor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni