Thalabul Ilmi dan Thalabul Mal
Oleh karena itu thalabul ilmi atau menuntut ilmu merupakan bagian yang terpisahkan bagi setiap Mukmin, di samping thalabul mal atau mengais harta yang juga dilaksanakannya. Keduanya sama pentingnya sehinga tidak dapat ditinggalkan juga dipisahkan, kedunya sudah seharusnya menjadi agenda dalam kehidupan setiap Mukmin.
Kalau ditanya mana yang lebih penting di antara keduanya: thalabul ilmi atau thalabul mal? Maka menjawabnya tentu akan mengalami kesulitan. Bagi seorang Mukmin tentu akan menjawab thalabul ilmi lebih penting, karena hal itu menjadi bekal dalam hidup ini agar memiliki shibgah dan wijhah (estetika dan esensi) yang jelas.
Berbeda dengan orang berorientasi duniawi, mereka lebih suka thalabul mal, bahkan untuk mencapainya kadang apapun akan dikerahkan demi tercapainya itu, termasuk dengan menghalalkan segala cara. Tujuan utamanya adalah kebanggan diri di hadapan orang lain, atau minimal menghindari adanya cemoohan orang lain.
Ada rasa takut jika kemudian direndahkan dan dilecehkan orang lain karena dianggap tidak memiliki kekayaan. Dan memang begitulah pandangan kebanyakan orang-orang yang memiliki orientasi yang sama. Mereka melihat seseorang itu dianggap terhormat jika memiliki kekayaan yang tampak kasat mata. Jika terlihat miskin maka mereka akan tidak dipandang atau kalau dipandangpun dengan sebelah mata.
Kewajiban Thalabul Ilmi
Sekalipun bukan termasuk dalam Rukun Islam dan Rukun Iman, thalabul ilmi juga di-fardhu ain-kan oleh Rasulullah, yakni kewajiban individual, baik untuk laki-laki maupun perempuan dan tanpa kecuali. Kewajiban ini melekat seperti halnya kewajiban dalam Rukun Islam, karena Rukun Islam dan Rukun Iman pun tidak akan terlaksana dengan baik dan benar jika tidak memahami seluk-beluk keduanya.
Dalam hal menuntut ilmu ini juga bukan sekadar atau asal menuntut ilmu. Akan tetapi sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah dalam hadits di atas, ada sistematika atau urutan sehingga hasil dari menuntut ilmu itu menjadi maksimal.
Dan yang paing urgent adalah persoalan akidah. Hal ini dalam rangka membangun persepsi yang benar terhadap syahadah—yang terkadung Rukun Iman di dalamnya—sejak awal atau dalam persoalan akidah ini, jika sejak awal persepsinya salah dapat berakibat fatal pada tataran selanjutnya.
Maka dalam hal ini ada pembagian tugas agar umat ini tetap terbimbing dengan baik. Hal ini tersirat dalam firman Allah Subhanahu wa Taala.
۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (at-Taubah: 122) (*)
Editor Mohammad Nurfatoni