Resep Enteng Jodoh, merupakan bagian kedua dari buku Spiritualitas Pernikahan Meraih Kebahagiaan dengan Rahmat Ilahi karya Moh. Sulthon Amien. Seri pertama berjudul: Pernikahan sebagai Laboratorium Perjuangan Sosial. Tulisan tersebut viral.
Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim; Ketua BPH Universitas Muhammadiyah Surabaya; Direktur Utama Laboratorium Klinik Parahita Surabaya; dan Ketua Badan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya.
PWMU.CO – Menjelang saya memasuki usia 25 tahun, kakak-kakak saya mulai sering bertanya, “Kapan kamu nikah? Kapan?” Ya, pertanyaan mereka terus berkutat seputar itu-itu juga. Biasanya saya cuma mesem dan sedikit melongo, mirip aktor iklan rokok di televisi saat ditanya hal serupa.
“Apa kamu sudah punya calon istri? Saya siap meminangnya, lho!”
Sebetulnya semua itu pertanyaan wajar, bukan usil, sebab saya sudah jadi yatim piatu ketika umur menjelang nikah. Maka, kakak-kakak merasa berkewajiban mempersoalkan perkawinan tersebut. Umur agaknya kerap dijadikan tolok ukur pernikahan seseorang. Karena bila agak terlambat akan memengaruhi masa asuh anaknya. Pada saat anak-anak menjelang dewasa, ayah ibunya sudah mulai dimakan usia.
Saya sering dikeluhi ibu-ibu yang banyak membina remaja. Mereka bilang, banyak di antara remaja putri asuhannya yang belum dapat jodoh.
“Mbok ya, tolong Pak Sulthon, kami dibantu.” Tak kalah serunya, saya juga mempunyai problem yang sama dengan adik-adik di sekitar saya. Mereka banyak yang masih bujangan.
Apakah ini telah menjadi sebuah fenomena di depan mata kita bersama. Begitu sulitkah mencari pasangan yang sesuai dengan kata hati? Atau, mereka lebih suka bebas hingga enggan mengikatkan diri dengan tali perkawinan?
Banyak hal yang mempengaruhi fenomena ini. Di antaranya pilihan dirasa makin sulit kala umur makin bertambah. Banyak pertimbangan yang mendasari. Gaya hidup yang perfeksionis juga turut menambah masalah. Di samping tuntutan hidup yang makin kompleks hingga membuat seseorang yang telah berumur menghadapi dilema pilihan yang tidak gampang.
Kriteria pilihan bertambah detail. Rasanya hidup ini dituntut harus sempurna, tak boleh cacat sedikit pun. Mungkin kita lupa bahwa makin dicermati dunia di sekitar kita makin kelihatan kekurangannya. Apalagi sekarang sudah tidak banyak di antara kita yang mau berperan membatu taaruf, menjadi makcomblang, si tukang perantara yang suka mencarikan jodoh bagi seseorang. Mungkin itu dianggap profesi tak baik atau menimbulkan perasaan malu.
Dulu saat masih bocah, saya ingat sekali dengan keluarga yang pekerjaannya menjadi tukang cari pasangan bagi seseorang, menjadi semacam biro jodoh. Perbuatan mulia itu patut diapresiasi karena berjasa mempertemukan pasangan yang cocok.
Baca sambungan di halaman 2: Jodoh, antara Kelebihan dan kekurangan