Resep Jangan Putus Asa
Saya sendiri tidak melihat orang lain. Saya lebih melihat ke dalam diri sendiri. Tatkala idealisme tak terpenuhi seluruhnya, saya sempat berkaca diri di cermin. Saya katakan pada diri ini, “Lha, kamu juga banyak kurangnya, kok cari yang sempurna, mana ada di dunia yang fana ini sesuatu yang sempurna?”
Saya pernah dicurhati seseorang yang sudah menjanda hampir tiga tahun dengan dua anak yatim di pangkuannya. Dia merasa sulit mencari pengganti suaminya.
“Pak, sudah dua belas orang saya tolak. Hampir semuanya tak cocok,” katanya di sela-sela isak tangis
“Belum ketiga belas, kan,” jawab saya singkat.
Dia pun tangkas pula menimpal, “Nanti kalau saya tolak satu lagi, Bapak pasti akan bilang belum keempat belas,” tawa saya meledak diiringi tawanya juga.
Ya resepnya memang jangan putus asa mencari rahmat llahi. Baru putus sekali, terasa dunia sudah sempit menghimpit bagaikan mau kiamat saja. Ingat, matahari esok akan terbit kembali menyinari kehidupan dan kita akan tetap tertantang mencari dan terus mencari.
Jodoh sudah ditetapkan Allah sejak dalam kandungan. Layaknya rezeki, semua sudah diatur. Itu bukan urusan kita. Yang menjadi urusan kita adalah berusaha mendapatkannya. Jadi, usahanya yang dinilai, bukan hasilnya. Artinya, apabila sudah berusaha memperbaiki diri, jodoh juga belum datang, maka bukan salah dirinya (Miftah Faridl, 2005)
Saya pun pernah merasakan bagaimana pahitnya putus cinta. Dunia yang telah dihamparkan llahi begitu luas sudah terasa sesempit daun kelor. Tetapi, itu tak terlalu lama dan cepat berlalu. Saya mau menyatukan dua keluarga yang sudah terjadi miskomunikasi sudah tak mampu lagi, jalan telah buntu. Hati tetap bergelora, tetapi nalar saya tetap jalan. Ini tak mungkin diteruskan. Lalu saya sounding ke sana ke mari mencari nasihat dan hasilnya mendukung ‘tesis’ saya bahwa tak mungkin perkawinan berjalan tanpa restu keluarga.
Tidak terlalu lama waktu berlalu, mantan kekasih saya menelepon dan mengabarkan bahwa dirinya akan dikenalkan teman pamannya yang dulu teman saya juga di SLTA. Kebetulan saya juga kenal baik sebab dia teman akrab saya sendiri. Langsung saya support.
“Dia orang baik dan alim. Seingat saya dia orang yang tak neko-neko, terima saja Dik,” saya tandaskan.
Dan tak berselang lama, teman saya yang di SLTA itu ganti telepon saya. lsinya juga perihal rencana mau dikenalkan dengan mantan saya.
Dalam keraguan, dia berkata, “Kamu saja tak berjalan mulus, bagaimana dengan saya nanti?”
“Kasusnya berbeda insyaallah, kamu akan menemui jalan lapang, percayalah,” kata saya. Saya percaya betul dengan pepatah mati satu tumbuh seribu, patah tumbuh hilang berganti (tapi, harap jangan tuduh saya si Don Juan yang gampang jatuh cinta, ha-ha-ha).
Ada hasil penelitian menarik yang membenarkan bahwa jodoh yang dicarikan akan lebih awet dan bahagia dibandingkan dengan yang mencari sendiri. Almarhum istri saya boleh dibilang agak intervensi sedikit untuk masalah jodoh anak-anak kami. Karena dia lebih aktif membicarakan pasangan mereka, memberi masukan ini dan itu untuk bahan pembicaraan, menjawab chat-nya hingga menjadi juru damai manakala mereka sedang salah paham.
Dia berpikir sederhana sekali, memupuk cinta tetap berlangsung langgeng sampai ke pelaminan. Dan saya pikir ini bagus walau tidak berarti orangtua ikut campur urusan pribadi anak-anak. Daripada sharing dengan teman sebayanya yang wawasan dan tingkat pikirannya relatif sama, masih mending berbagi masalah dengan yang sudah dewasa, yang telah merasakan pahit dan getirnya kehidupan.
Demi kebaikan dua anak kami, istri saya selalu aktif berdiskusi ikut larut memecahkan problematika mereka. Menjadi mediator tatkala mereka lagi bertengkar. Saya pun merasa tak malu kalau dari pihak wanita harus memulai membicarakan lebih dulu dengan pihak laki-laki, perihal hubungan mereka. Ini semua demi masa depan mereka juga. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni