Pendapat Kedua
Pendapat kedua, mengatakan penukaran uang lama dengan uang baru meskipun dengan penambahan nilai adalah tidak riba. Karena yang demikian ini tidak bisa dikiaskan dengan riba fadl, mengingat tidak adanya kesamaan illat di antara keduanya. Uang tidak bisa ditimbang dan ditakar sebagaimana barang-barang yang tersebut dalam hadis di atas.
Disebutkan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, sebagai berikut:
“Ulama Madzhab Syafii, Hanafi, serta ulama Hambali dalam pendapat yang masyhur, dan lain-lain. Bahwasanya tidak ada riba di dalam uang yang dibuat transaksi walaupun diakui sebagai alat transaksi. Karena uang tidak bisa ditimbang dan ditakar (sebagaimana emas dan perak), serta tidak adanya nash yang menyatakan riba dalam uang sebagaimana dikatakan oleh al-Buhuti.
Dan juga karena yang menjadi illat keharaman riba dalam emas dan perak adalah harga atau nilai ekonomis yang terdapat dalam material keduanya. Dan hal ini tidak dimiliki oleh uang walaupun diakui sebagai alat transaksi. Oleh karenanya diperbolehkan menjual uang dengan sesamanya secara tidak sama, sebagaimana boleh menjual satu telur dengan dua telur, satu kelapa dengan dua kelapa, satu pisau dengan dua pisau, dan lain-lain. Asalkan secara kontan.”
Dari keterangan di atas menjadi jelas bahwa dalam pandangan hukum Islam boleh menukar uang dengan uang baru. Asalkan secara kontan dan kelebihan uang yang diberikan kepada penyediaan jasa harus diniatkan untuk membayar jasa.
Dari dua pandangan di atas penulis lebih condong kepada pendapat yang kedua. Mengingat hukum dalam masalah muamalah duniawiah itu bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan alasan hukumnya.
Praktik riba diharamkan dalam Islam karena di dalamnya ada kezaliman atau penindasan ekonomi. Sementara dalam praktik di atas hal tersebut tidak ditemukan, bahkan yang terjadi adalah saling memberi manfaat. Sudah terjalin kesepahan antara masyarakat dengan penyedia jasa pada transaksi yang dilakukan.
Masyarakat diuntungkan karena tidak harus antre lama di bank. Sedangkan penyedia jasa juga diuntungkan dengan upah jasa yang didapat. Bukankah ada kaidah hukum yang mengatakan, jika terdapat tradisi atau adat dalam muamalah duniawiyah yang tidak bertentangan dengan prinsi-prinsip syari’ah, maka hal tersebut diakui sah oleh agama. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni