Neo MABIMS: Hisab Imkanur Rukyat
Kementerian Agama (Kemenag) mulai tahun ini mulai menggunakan kriteria baru penentuan awal bulan Hijriyah. Kriteria itu mengacu hasil kesepakatan Menteri Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada tahun 2021. Selama ini, kriteria hilal (bulan) awal Hijriyah adalah ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam.
MABIMS bersepakat untuk mengubah kriteria tersebut menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kesepakatan ini ditandai dengan penandatanganan surat bersama ad referendum pada tahun 2021 terkait penggunaan kriteria baru MABIMS di Indonesia mulai tahun 2022.
Langkah-langkah sosialisai mengenai kriteria baru ini telah dilakukan, termasuk surat edaran resmi pada tanggal 25 Februari 2022 dari Kementrian Agama kepada ormas-ormas Islam dan instansi terkait tentang kriteria baru MABIMS tersebut, yang berisi ajakan untuk mendukung dan mensosialisasikan kriteria baru tersebut. Hakim agama yang biasa mengistbatkan (menetapkan) rukyat di berbagai wilayah Indonesia perlu merujuk kepada kriteria imkan rukyat yang baru ini ketika memutuskan untuk menerima atau menolak kesaksian rukyat.
Hisab Vs Hisab?
Perkembangan hisab imkanur rukyat yang dikokohkan melalui Kesepakatan MABIMS baru dengan kriteria ketinggian bulan minimal 30 dan elongasi bulan minimal 6,40 dan dijadikan acuan oleh Kemenag dalam menetapkan awal bulan Hijriah akan menandai adanya akar baru dalam perbedaan yang ada.
Perbedaan tidak lagi hisab vs rukyat, tetapi hisab vs hisab. Yakni hisab wujudul hilal vs hisab imkanur rukyat. Jika posisi hilal pada tanggal 29 di suatu bulan Qamariyah saat matahari terbenam di seluruh kawasan Indonesia memenuhi kriteria 3-6,4, maka mestinya diputuskan bahwa besok adalah tanggal bulan Qamariyah berikutnya meskipun tanpa satupun laporan rukyat hilal.
Sebaliknya, jika posisi hilal pada tanggal 29 di suatu bulan Qamariyah saat matahari terbenam di seluruh kawasan Indonesia tidak memenuhi kriteria 3-6,4 maka mestinya diputuskan bahwa akan dilakukan istikmal atau penggenapan bulan menjadi 30 hari, meskipun ada laporan terlihatnya hilal di sebuah lokasi pengamatan di Indonesia.
Idealnya, pengambilan keputusan melalui metode hisab lebih memberikan kepastian, baik hisab wujudul hilal maupun hisab imkanur rukyat. Jika Kemenag dan ormas-ormas yang mendukung kriteria baru ini konsisten dalam penerapannya, maka semestinya prosesi rukyat hilal tidak perlu dilakukan.
Atau seandainya tetap dilakukan tidak akan memengaruhi keputusan hukum. Jika itu terjadi, maka tidak hanya Muhammadiyah yang dapat mengumumkan awal puasa dan hari raya jauh-jauh hari, Pemerintah melalui Kemenag pun dapat melakukannya. Perlu dicatat bahwa persamaan metode yang diambil yaitu hisab, tidak menjamin hasil yang sama dalam penetapan awal bulan Hijriah, tergantung pada batas kriteria yang dipilih.
Tantangan Pembaharuan dan Reinterpretasi Hukum Islam
Kriteria Neo MABIMS baru saja diberlakukan tahun ini, belum cukup waktu bagi publik untuk menilai apakah kriteria baru ini akan mengubah dikotomi hisab vs rukyat menjadi hisab vs hisab.
Dari sudut pandang sains, saat ini ‘hisab’ astronomi modern sudah lebih dari cukup menyediakan data posisi berbagai benda langit dengan akurasi tinggi. Posisi-posisi benda langit yang dahulu mungkin dihitung secara manual atau cukup dengan menggunakan kalkulator, saat ini tersedia komputer dan bebagai teknologi pengolahan data yang dapat digunakan.
Situs-situs yang memuat data posisi benda-benda langit tersebut juga tidak terhitung jumlahnya. Kapan terjadi konjungsi (ijtimak), kapan elongasi bulan 00, 30 atau 6,40 dengan mudah diketahui. Kapan ketinggian hilal 00, 20, 30 atau berapapun ketinggian yg diinginkan disuatu lokasi pengamatan juga dapat diketahui dengan jelas.
Intinya, perbedaan dalam penentuan awal bulan Hijriah pada dasarnya bukan disebabkan oleh persoalan sains Astronomi, namun akibat dari perbedaan cara dalam pengambilan keputusan hukum, dalam hal ini hukum Islam (syariah). Dalam dunia yang dinamis, penuh perkembangan dan global, tuntutan terhadap pembaharuan dan reinterpretasi hukum Islam adalah keniscayaan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni