Agama Tak Sekadar Ritual
Agama tentu jangan dilihat sekadar ritual. Karena ritualitas belum tentu menggambarkan jati diri seseorang. Orang yang shaleh beribadah belum tentu shaleh secara sosial. Memang idealnya dua kesalehan itu menyatu. Ibadah khusyuk dan kepedulian sosialnya juga bagus.
Diceritakan pada suatu saat Amirul Mukminin Umar bin Abdul Azis RA, bertanya kepada stafnya, dari mana staf tersebut menemukan orang yang akan dicalonkan jadi pejabat pada masa pemerintahannya.
“Dari dalam masjid,” staf itu menjawab, “Kelihatan dia shalat khusyuk dan berdoa lama sekali.”
Amirul Mukminin langsung menolak. Itu belum menggambarkan jati diri seseorang. Untuk menguji akhlak seseorang adalah bagaimana keseharian dalam pergaulan sesama manusia.
Islam belum dijadikan sebagai sumber way of life oleh umatnya. Kita menjadi Muslim sering lantaran orangtua kita juga Muslim. Islam secara otomatis ini akan berbeda dengan yang menjadi Islam atau tertarik dengan Islam karena buah dari mempelajari ajaran Islam yang mahabenar itu.
Saya mempunyai seorang sahabat yang justru mengaku bersyukur ditinggal ayahnya yang warga Jepang itu sejak di dalam kandungan ibunya. Andaikan ayahnya masih hidup belum tentu dia otomatis menjadi Muslim. Tetapi yang cukup menggembirakan, kesyukuran itu dia praktikkan dengan mempelajari Islam secara intens agar dirinya menjadi Muslim yang tidak ikut-ikutan.
Komunitas Muslim hingga kini baru pada tataran ritual, pranata sosialnya belum tergarap dengan serius. Di samping itu, lemahnya suri teladan dari kita yang punya predikat fakih dalam urusan ad-Din ini.
Cinta Bukan Segalanya
Ada sebuah penelitian bahwa bila menikahi seseorang hanya berdasarkan hati akan membuahkan kegagalan. Sedangkan yang menggunakan dasar pilihannya dengan akal akan menghasilkan kebahagiaan. Kata hati hanya bertumpu pada perasaan tanpa pertimbangan akal yang sehat. Dan yang lebih baik bisa memadukan keduanya yakni hati dan akal, dengan syarat akal diutamakan (Ash-Shalih: 2006)
Pernikahan yang sukses biasanya terjadi pada pasangan yang benar-benar memahami bahwa cinta adalah bagian dari pernikahan, bukan segalanya. Persentase cinta dalam pernikahan tidak lebih dari 30 persen, sedangkan sisanya yang lebih penting adalah dasar kesepahaman, kasih sayang, tanggung jawab, dan tekad untuk menyukseskan pernikahan, bukan menyerah pada awal munculnya masalah.
Tak kalah pentingnya syarat kedewasaan seseorang juga ikut memengaruhi stabilitas bahtera rumah tangga. Karena kedewasaan menjadikan seseorang menyadari kelemahannya sehingga dia mampu berhenti pada batasnya. Kedewasaan menjadikan seseorang mengetahui hakikat yang sebenarnya.
Dalam konteks kehidupan rumah tangga, kedewasaan itu menjadikan pasangan antara lain, menyadari bahwa ketika suami memberi, dia juga menerima dari istri, demikian pula sebaliknya. Jika demikian, masing-masing kuat dan lemah dalam saat yang sama. Kuat ketika memberi dan lemah ketika menerima. Ini tidak dapat luput sesaat pun dalam kehidupan rumah tangga (Shihab: 2007). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni