Sahabat Sebarkan Hoax
Salah satu sahabat yang menyebarkan ialah Mistha ibn Utsasah, masih keluarga Abu Bakar. Hidupnya di Madinah ditanggung oleh Abu Bakar. Sayang, dia bukannya menetralisir, tapi justru menyebarkan berita bohong itu karena tidak kritis menerima informasi.
Sampai Abu Bakar marah dan bersumpah tidak akan membantunya lagi dan memaafkan kesalahannya. Sikap Abu Bakar itu menurut Prof Mu’ti sangat wajar atau lumrah manusia lakukan. “Ada fitnah bukannya ikut menetralisir, malah ikut menyebarkan,” jelasnya.
Kemarahan Abu Bakar ternyata membuat Allah menegur lewat an-Nur ayat 22.
وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌرَحِيمٌ
Artinya, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”
Muhammadiyah Harus Belajar Hadapi Berita Bohong
Prof Mu’ti lantas menerangkan, kisah seperti ini sering terjadi dalam realitas bermuhammadiyah, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “Banyak persoalan menyangkut muamalah, relasi hablum minnannas terusik berbagai berita yang kadang bisa mengoyak, merusak ukhuwah dan persaudaraan di antara kita,” ungkapnya.
Dia mencontohkan, tiba-tiba ada kejutan berbagai video yang sedikit menggoyahkan i’tiqad sebagian warga persyarikatan. “Membuat video-video yang berisi pernyataan dari aparatur ulama beneran ataukah ulama instan,” ungkapnya.
Seperti video yang menyatakan tidak ada shalat Tarawih delapan rakaat. Adanya 20 rakaat. Maka dia menyayangkan, “Orang Muhammadiyah yang mengaji ala kulli hal, ala kadarnya, terpengaruh juga.”
Termasuk ketika menjelang penetapan Idul Fitri, sambung Prof Mu’ti, tiba-tiba ada juga yang menggunggah video dengan narasi ormas tidak boleh membuat ketetapan mengenai Idul Fitri dan Ramadhan karena itu wewenang pemerintah. Sebagaimana pada zaman Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Khambali.
“Sebagian orang Muhammadiyah goyah juga. Tapi yang agak kritis bertanya, zaman Imam Malik kan tidak ada ormas?” ucapnya membuat seisi ruangan tersadar, lalu tertawa berjamaah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni